Stood and Stand

by Citra Maharani

Stood and Stand
  • Home
  • Author
  • Portofolio
3nq-sns


Tonight We Dine In Hell 300 GIFfrom Tonight We Dine In Hell GIFs

Sharing about the movie I've watched on this blog for the first time would open this review. I'm not gonna telling you bout the director or kind of stuff like that, but really on the point that I thought badly want to share with you.

This movie was released in 2006 and yeah, the cinematic, while it was monotonous but it was fine! Overall the movie, you will see the same filter, if you expect a good cinematic, hopefully, you'll think that again. But really! It's not boring from the beginning to the ending! Yea sounds like I'm into it, but yes, I'm into it hahaha.

Quality seems so clear in this 300 movie, as the title, 300 Spartans fight over 170.000 Persian less more. At first, Leonidas The King did not get permission from the respected people of Sparta, I forget their name. Leonidas hesitated then, fight, not, fight, not. He told it to his wife, Gorgo (reminded me of Cersei hehe). Gorgo said, “What should freeman do?” woo in the heart. Leonidas immediately jolted his heart.

Next to the battle that I'm so excited about. Blood mm it's .. plain sight ... If you kind of people who don't like seeing a lot of blood or violent stuff, I warn you. My heart races I feel most in this movie, its slow effects, really make me like I'm feeling the battle and pain. There are so many Persian tactics, one way or another. There's a titan, witches, immortals, elephants, rhino, aaa lot of kind weapon they use to fight over 300, yea, 300 Spartans. The confidence of Leonidas reminds of someone's words that there's no luck, no sudden thing, then why? It's because you, you ready for it, for its glory. During the fight, there's one scene with the slow effect that I wanted most to give it a back sound, AAA .. AA .. AAA .. AA, if you know Ragnarok, yea the “AA” sounds like it.

Begin to the ending, there's one scene that hmm I “oh, pls no” way, yes, when Leonidas kneels down. Why I feel this way is because I don't see if Leonidas wants to attack the king of Xerxes directly. Then, wow, Leonidas' weapon got Xerxes!

Of course with its ending of Leonidas, I'm .. ok with it. The impact of this warrior spirit finally made the dream of Leonidas come true. I recommend you to see this movie when you are not in your full energy and want to recharge to feel better and moved to fight for your own battle.

Thanks for you all reading till its ending, Happy Holiday! If you are so.

endless-sns


Untuk Lily merahku,

Ayah Ibumu bukanlah mereka yang menjadikanmu ada, bukan pula mereka yang mengatakan kebenarannya. Kau pun tahu soal ini, dari siapa yang kau temui kala itu, tujuh tahun berlalu. Bertemu dengan tubuh fanamu yang hampa tanpa kehendak pribadi membuat pertemuan itu hanya sekedar temu tanpa kata. Berhari-hari tak kucoba pikirkan tentangmu, tapi nyatanya ini tertulis. Saat aku ingin mengisi waktu dengan tempat kumenetap pasti, kudapati diriku ada dalam hangatmu. Perlahan kuharap kehendak pribadimu mulai ada, Lily.

Kini mereka membawaku pergi ke tempat yang tak kau ketahui. Jauh darimu lantas membuat kenangan kecil itu mendominasi. Senyum dan canda tawamu dulu, membuat kami hidup, Lily. Hanya saja perang ini memisahkan kita dari Ayah Ibumu. Kutakuti ia juga akan memisahkanku darimu.

Di taman tempat kau dirawat, hanya mengerti kata yang kutulislah harapan kecilku padamu, andai-andai kau dapat tersenyum padaku saat telah sampai. Ketahuilah bahwa kau tak sendiri dan ada aku yang akan menghabiskan waktunya bersamamu. Bersama, Lily.

Saudarimu,

Gen

Penghabisan waktu itu memang mereka lakukan bersama dalam ketenangan. Surat yang sampai saat perempuan muda beraga, tetapi pikiran dan perasaannya terputus dinyatakan telah tiada.  Surat harapan seorang saudari yang telah gugur, tak pernah dibaca Lily si rambut merah.  

sc-sns


 “Orang-orang kalo belajar pada berapa jam, sih?”

“Kalo dibandingin dia belajarku dikit banget, ya.”

“Haduh, duit segini aja, perasaan ini seleb duitnya kaga abis-abis.”

“Dia enak banget keterima di ptn sana-sini.”

    Psikolog Leon Festinger bilang, bahwa manusia punya kecenderungan untuk mengevaluasi dirinya sendiri dan seringnya dibandingin sama orang lain. Manusia juga kadang menetapkan tolak ukur untuk kondisi-kondisi yang dihadapinya saat ini. Tolak ukur ini antara diri sendiri sama orang yang bisa aja deket atau mungkin artis-artis yang dilihat di sosial media.  Kalau kita baca jurnal yang judulnya, Social comparison, social media, and self-esteem, studi kasus satunya nunjukin, pengguna yang sering mengakses Facebook keseringan, lebih punya sedikit kepercayaan diri, dibanding mereka yang lebih engga sering ngakses. Hal ini , ya, karena self comparison itu sendiri sangat difasilitasi sama Facebook (baca : sosial media).

     Then, jelasnya, apa sih self comparison itu? Ya, tadi, bandingin diri sendiri. Sama siapa? Siapapun. Apa yang dibandingin? Apapun, bisa kemampuan, kebolehan, kepintaran, pencapaian, atau bahkan usaha yang dilakukan. Ya, sebagai manusia, secara alami memang kita suka ngulik-ngulik info, “Eh apaan, tu?”, kira-kira gitu.

    Pas mau mulai belajar hal baru, misal bahasa asing, kita ngulik-ngulik dulu, “Mukidi (bukan nama asli) udah jago bahasa ini bukan, sih? Lah aku kaya jerami diantara jarum dong, nanti?” Awalnya begitu, tapi kita lanjut belajar aja. Eh sebulan, dua bulan, tiga bulan, lah kok ga jago-jago, dia kok udah fafifu waswiswus pake bahasa itu? Terus kita bisa aja ada di salah satu dari dua kondisi. Pertama, “Ah, males, kaga keliatan hasilnya.” atau kondisi 2, “Kudu bisa nih, bakal nandingin Mukidi pokoknya!” Sering?

    Perbandingan ini ada dua tipe, yaitu ke orang yang lebih dari kita dan ke orang yang kurang dari kita. Upward social comparison adalah saat kita bandingin diri sendiri sama orang yang kita percaya lebih baik dari kita. Orang yang melakukan ini kadang berharap bahwa mereka bisa belajar memperbaiki diri dan secara ngga langsung ningkatin dirinya. Seperti yang tertulis di For better or worse : The impact of upward social comparison on self-evaluations, orang melakukan upward social comparison dengan harapan mereka dapat meningkatkan self-assessment mereka. Kita juga berharap bisa mencapai hasil lebih atau paling tidak sama dengan mereka (yang kita jadikan perbandingan). Tapi ... tapi ... alih-alih menjadi termotivasi seperti itu, kadang upward social comparison juga bisa menimbulkan evaluasi yang negatif. Parahnya, ya, itu, kehilangan kepercayaan diri.  Hal ini ngebuat kita merasa tertekan dan males. Dengan begini, kita bisa ngerasa usaha atau pencapaian kita selalu ga cukup bahkan kehilangan gairah untuk meraih tujuan yang kita impikan.

    Jenis satunya adalah downward social comparison. Bandingin diri sendiri sama orang yang worse off than us yang terkadangnya ngebuat kita ngerasa apa yang kita miliki ini lebih baik atau cukup. Memang apa yang ada di tangan kita itu ga seberapa tapi seenganya lebih baik lah dari orang yang kita jadikan perbandingan. Lewat downward social comparison, kita dibuatnya ngerasa superior dan menolak untuk menantang diri berbuat dan berusaha lebih dari yang sekarang. Di sisi lain, downward social comparison ngebuat kita merasa bersyukur karena ternyata ada yang lebih kurang dari kita. Permisalannya bisa dari segi ekonomi (yang paling sering), prestasi akademik, dan hal-hal sejenis usaha dan belajar.

”People compare themselves to those who are better when they want inspiration to improve, and they compare themselves to those who are worse when they want to feel better about themselves.” – Kendra Cherry

    Buruknya self comparison adalah perbandingan yang terjadi seringnya imperfect. Kita ga lihat keselurahan variabelnya dan seluruh realitasnya. Kalo buat kita, lika-likunya kita tahu karena memang kita yang ngejalanin, tapi kalo orang lain? Walau teman deket, aku ga jamin, kalian tahu seluruh realitas yang mereka alami. Seluruh yang aku maksud bener-bener keseluruhan; lingkungan, materi, fisik, mental, dan lainnya.

    Kadang menjadi kerasa kurang karena yang kita pengen adalah menjadi lebih. Maka, jadilah menjadi lebih dengan cara yang ngga ngebuat kita ngeremehin diri sendiri dan cara yang ngga ngebuat kita ngerendahin orang lain.

    

pnk-sns

    Dua puluh? Dua puluh lima? Kala itu entah berapa tahun telah berlalu. Tak kuketahui pasti, tapi dia adalah seorang pemuda. Pemuda dengan rambut gundul dan wajah tanpa ekspresi. Kulitnya hitam kusam, seperti arang yang menjadikan ia punya pekerjaan. Mungkin mandi menjadi hal asing baginya atau mungkin terlalu membuang waktu? Siang malam ia berjibaku membuat arang. Ya .. maklum, Idul Adha sebentar lagi datang. Semangatnya tak perlu ditanyakan lagi, lihat saja penampilannya. Saat inilah, kantong yang sebelumnya terisi angin kini berharap aliran cuan. “Apa kau saat ini bahagia?” tanyaku pada pemuda itu. “Tentu saja! Kau tak lihat wajah ini?” jawabnya. Padahal bila aku boleh bersuara, akan kutanyakan pada orang lain, “Wajah ‘itu’, apa menurutmu menggambarkan sesuatu?”


    

kucing-sns

    Kucing saat ini menjadi hewan peliharaan yang populer. Terlebih di masa pandemi, orang-orang diharuskan berdiam diri di rumah. Cenderung merasa bosan berkegiatan yang itu-itu aja, orang-orang mulai melirik kucing, yang dari sananya, imut. Entah itu kucing liar yang kita dapetin dari suatu tempat, yang tiba-tiba dateng sendiri ke rumah, dikasih kenalan yang udah lama suka kucing, atau kita sendiri yang beli. Memelihara kucing tentunya kita butuh pakan, tempat dia ‘eek’, dan sebagainya. Makanan kucing pun beragam banget variannya sampe ada snacknya juga.

    Baru-baru ini temenku tiba-tiba tanya random, “Kalo manusia tiba-tiba gaada, nasib kucing gimana ya? Kan biasanya yang ngasih makan kita? Sekarang juga jarang kucing yang makan tikus.” Pertanyaan (yang kira-kira begitu) ini menarik dan bingungin sih. Pertama, kok tiba-tiba gaada itu gimana? Tiba-tiba gaadanya itu karena apaan? Menurutku, kalo gaadanya manusia karena bencana alam dan semacamnya, sebagian besar kucing pasti ikutan ‘gaada’. Ya kalo tiba-tiba beberapa manusia ilang kaya di series  The Society, aneh sih, kebetulan aku juga belum nyelesein nonton seriesnya. Karena aku tergolong orang yang melihara kucing dari lama dan sebelumnya belum pernah baca atau tahu asal muasal kucing rumahan, penasaran deh hihi.

Let’s begin ..

    Para peneliti menemukan bahwa penyebaran kucing terbagi dua gelombang. Pertama, ketika pertanian muncul pertama kali di daerah timur Mediterania dan Turki. Masyarakat saat itu menyimpan biji-bijian yang menarik tikus-tikus pada dateng. Nah, si kucing liar zaman itu tertarik dengan para tikus ini dan nyamperin mereka di tempat penyimpanan biji-bijian tadi. Buat ngontrol populasi para tikus ini, masyarakat memotivasi para kucing untuk stay at home  tetap tinggal di daerah itu yang akhirnya mengarah ke dalam budidaya kucing domestik. Begitulah yang diperkirakan Eva-Maria Geigl dan rekan-rekannya dari Insititute Jacques Monod di Paris.

    Gelombang dua penyebaran kucing terjadi beberapa tahun kemudian. Para peneliti tadi menemukan bahwa kucing yang memiliki keturunan mitokondria dari Mesir mulai muncul di Bulgaria, Turki dan sub-Sahara Afrika antara abad keempat sebelum masehi. Di abad keempat Masehi, mereka percaya bahwa para pelaut mulai memelihara kucing di atas kapal untuk mengontrol populasi tikus. Kucing ini jadi menyebar saat para pelaut melakukan misi perdagangannya.

    Para peneliti ini juga menemukan bahwa DNA dari beberapa spesimen menunjukkan bahwa mutasi kucing tidak terjadi hingga abad pertengahan. Selama beberapa dekade, para peneliti percaya para kucing telah dipelihara di Mesir sekitar 4.000 tahun yang lalu. Tapi, narasi ini dipatahkan oleh penemuan tulang kucing di kuburan manusia yang berusia 9.500 tahun di Siprus pada tahun 2004. Dalam penelitian lain tahun 2014, kucing domestik dibiakkan di Mesir pada 6.000 tahun yang lalu (penemuan ini sesuai dengan kronologi yang dibuat oleh Geigl dan rekan-rekannya).

    Si kucing-kucing tadi tertarik sama para tikus, mereka pasti ngikutin kata hati dan perut mereka sendiri kan ya buat nangkep para tikusnya, bukan manusia yang dengan mudahnya memerintah si kucing buat, “Noh, tikus-tikus tangkepin, buat lo pada makan!” Em .. kalo gitu bearti pasti ada faktor yang bikin si kucing betah hidup bersimbiosis dengan manusia dari dulu. Nah, ada sumber lain yang mengatakan jika kucing telah mendomestikan dirinya sendiri sejak dulu kala. Menurut Stephen O’Brien dari National Cancer Institute, kucing punya genetik yang memudahkan mereka untuk dapat berinteraksi dengan manusia. Ini juga yang memungkinkan kucing lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan manusia di sekitarnya. Ternyata cukup rumit dan panjang ya sejarah kucing sama manusia ini.

    

pilihan-sns

    Apa sih yang ga kita lakukan dalam hidup ini tanpa memilih? Mau bangun, milih. Mau mandi juga milih. Mau makan, milih-milih (Ya, walau realitanya semua itu tergantung situasi dan kondisi). Bahkan ada cerita, saat kita mau lahir di dunia ini kita disuruh milih dulu. Tapi tapi, terkadang juga aku atau kita itu sering bilang, “ ya, mau gimana lagi.” “Ya” di situ bisa juga diganti pakai, “yaudah lah ya”. Kalimat itu terdengar seolah gaada pilihan dan kitanya pasrah. Kita seolah ok-ok aja, manut-manut aja. Namun, mungkin sebenernya ga begitu. Dikatain tukang pasrah sama orang juga gaenak didengernya kan.  Kita ini ada pilihan, cuma mungkin kotakan pilihan-pilihan itu bukan kita yang bentuk.

    Tentu, kotakan pilihan ini kebentuk dipengaruhi situasi kondisi tadi. Bisa aja dari ekonomi (yang paling sering terjadi), keluarga (ini juga sering sih), lingkungan atau tempat tinggal (ya .. cukup sering), orang lain, lembaga atau organisasi, peraturan pemerintah, suku bangsa, dan banyak banget yang lain.

    Daripada bingung, kaya gini. Misal, yang baru-baru ini soal PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru), ada ketentuan buat para peserta didik baru ini milih sekolah barunya. Dari yang aku baca (ini SMA) ada empat jalur. Jalur zonasi, jalur afirmasi, jalur prestasi, dan jalur perpindahan tugas ortu/wali. Dengan empat jalur ini, pendaftar nentuin bisanya dia pakai jalur mana. Nah misal, bisanya di antara zonasi sama prestasi. Eh, rumahnya deket sekolah nih, bearti lewat jalur zonasi. Jarak tempat tinggal dong di sini yang mempengaruhi kotakannya kebentuk. (kalau lewat prestasi kan pakai nilai tu, lebih luas bearti ya cakupan pilihannya, tapi kan yang namanya nilai kan … ya … gitu lah … ga bahas lengkapnya di sini.) Pastinya, walau emang pilihannya terbatas dan mungkin yang kita inginkan gaada dalam daftar pilihan, kita masih bisa milih sekolah-sekolah mana yang ada di zona kita.

    Soal ndaftar ke perguruan tinggi juga kurang lebih sama, tapi ditambah pengaruh ekonomi dan keluarga. Kita milih jurusan apa dan di kampus mana pasti lihat-lihat dan ngira-ngira dulu begimana-begimananya. Kalau yang baca ini calon mahasiswa baru agaknya paham betul ya begimananya … hehe.

    Hm .. banyak faktor dan kondisi yang mempengaruhi pilihan kita, yang memang selalu ada dalam kehidupan kita,  tapi menurutku ujung-ujungnya juga kita sendiri yang milih atau membuat keputusannya. Memilih sekolah dalam zona kita, ya kita juga yang milih kan. Jurusan? Kampus? Walau terbatas ini itu, kebentur kondisi ini itu, atau “Kamu kuliah/sekolah disini aja, ya”, keputusan “Oke”-nya,  “Ngga ah”-nya, nangisnya, marahnya, terpaksanya, atau ikhlas dan cari solusinya, akhirnya itu pilihan pribadi kita, kan.  Dalam Man’s Search For Meaning karya Viktor E. Frankl, beliau berpendapat bahwa manusia tidak sepenuhnya dikondisikan dan dipengaruhi; manusia bisa menentukan sendiri apakah dia akan menyerah atau mengatasi kondisi yang dihadapinya. Manusia mampu membuat keputusannya sendiri, pilihan-pilihan pribadinya sendiri. Manusia juga bisa mewujudkan potensi apa yang bisa dia wujudkan lewat keputusannya itu.  

Akhir tulisan singkat ini aku tutup dengan salah satu kutipan dari Man’s Search For Meaning,

Manusia memang makhluk yang terbatas. Dan kebebasannya juga terbatas. Kebebasan manusia tidak terbebas dari kondisi. Namun, manusia bebas untuk menyikapi berbagai kondisi.

    Saat ketemu orang buat pertama kalinya, kadang kita tu ngeliatin dulu “dia” dari penampilannya. Ya, kalau ada kesempatan ngomong, dari cara bicaranya lah. Dari itu otak kita sering nyimpulin, of course dengan cepatnya, “he/she is beautiful then he/she is also good”. Atau pernah ngga kalau ada orang yang berkacamata dan bawa buku kemana-mana kita bilangnya dia itu pinter dan rajin. Atau lagi, kalo liat anak laki-laki tetangga lagi nyapu atau ngepel rumah kita bilangnya, Duh rajin banget idaman nih. Pernah dan keinget? Hmm.. well itulah yang disebut Halo Effect.

    Kesan pertama yang cenderung positif dalam menilai seseorang itu disebut Halo Effect. Pertama kali dikenalinya oleh Edward Thorndike, seorang psikolog asal Amerika di artikelnya yang berjudul, A Constant Error in Psychological Ratings. Di sini, Edward Thorndike menggambarkan bahwa Halo Effect sebagai bias kognitif di mana satu aspek dari seseorang membentuk pendapat seseorang tentang dimensi dan fitur lain dari orang itu. Seperti contoh yang aku sebutin tadi, cuma karena liat orang kacamataan pegang buku kita langsung nyimpulin bahwa dia pinter dan rajin, padahal untuk mencapai penilaian itu kita harusnya kenal baik dulu orang itu bagaimana dan ya, baru nyimpulin, bukan hanya karena satu aspek penampilan dia aja.

    Ada suatu ketika, seorang guru melihat anak-anak didiknya dan beliau punya ekspetasi yang cenderung berlebih kepada anak didik yang berpenampilan menarik. Guru tersebut cenderung menilai bahwa anak didik yang menarik tadi akan punya akademi yang bagus dan berbakat. Sebaliknya juga terjadi, anak didik yang melihat penampilan gurunya dengan rapi, mereka menilai gurunya akan ramah dan baik hati kepada mereka. Kalau di dunia kerja, mungkin kita sering lihat orang yang pakaiannya bagus, tertata, dan wangi adalah orang yang kompeten di bidangnya dan mudah mendapat posisi yang dia inginkan karena mendapat apreasi dari si pencari kerja (Juga termasuk penampilan politisi di awal kemunculannya yang ngebuat kita pengen nyoblos).

    Then, apa salah kalau kita berpenampilan ”baik” di depan umum? Fokusnya bukan kesitu. Fokus kita adalah kenapa nih, kita, menilai sesuatu aspeknya kok pake satu doang, cuma di awal lagi. Oke kita pake contoh selain orang, yaitu makanan. Dalam British Food Journal yang berjudul The Halo Effect of Biofortification Claims on Taste Inference and Purchase Intention, nunjukin eksperimennya bahwa “biofortification claims” memang muncul untuk membangkitkan “a heuristic halo effect” di mana makanan yang punya “biofortification claims” disimpulkan rasanya lebih enak dari makanan biasa. Dan karena itu, peserta eksperimen ini pun cenderung membeli dan memilih makanan dengan “biofortification claims”. Bahkan kita belum nyoba atau dengar pendapat dari orang yang pernah nyobain. Hmm?????

    Penilaian terburu-buru inilah yang menghambat proses berpikir kita, maunya cepet-cepet aja. Hal inilah yang perlu kita hindari. Kalau kita mengira AB ini begini begitu karena si Halo Effect, kita bisa dirugikan dan kecewa sewaktu-waktu karena ekspetasi kita ga tercapai. Kita bisa terjebak merugi karena yang kita pikir seharusnya begini ternyata kenyataannya begitu. Atau, nanti kita sendiri yang terbebani batin saat dikira orang, kita bisa ngelakuin semua hal karena penampilan kita menarik, Halo Effect.

    Di The Halo Effect Revisited: Forewarned is Not Forearmed, penelitiannya melakukan pemberian penjelasan terhadap peserta tentang Halo Effect dan membuatnya sadar akan dampaknya. Namun, semua peserta atau subjek ini rentan terhadap Halo Effect. Peserta menilai instruktur mereka hanya dari penampilannya.  Peringatan dan instruksi sebelumnya juga tidak berdampak pada kesadaran peserta tentang Halo Effect.

    Well, semoga kita bisa melek atas adanya si Halo Effect ini. Manusia memang memiliki sisi kecenderungan terhadap keyakinan moralnya masing-masing. Kita sebagai pribadi harus lebih terbuka bahwa setiap manusia itu berbeda-beda, unik, dan memiliki nilai-nilai pribadinya, dengan begitu kita bisa menghargai keberadaan setiap manusia itu sendiri. Agar asumsi-asumsi kita tidak membawa konsekuensi negatif di kemudian hari.

Newer Posts Older Posts Home

Categories

  • Health 1
  • HoW? 3
  • Landing 4
  • Lintas 8
  • Movie 7
  • Storiette 5
  • Thoughts 12
  • Women 3

Popular Posts

  • ABOUT
  • Segala Hal Baik di Dunia
  • Itu bukan Pencapaian yang Belum Tercapai, ko!

Archive

  • ►  2021 (18)
    • May 2021 (3)
    • Jun 2021 (2)
    • Jul 2021 (3)
    • Aug 2021 (2)
    • Sep 2021 (2)
    • Oct 2021 (2)
    • Nov 2021 (3)
    • Dec 2021 (1)
  • ►  2022 (15)
    • Jan 2022 (5)
    • Feb 2022 (5)
    • Mar 2022 (2)
    • May 2022 (1)
    • Jul 2022 (1)
    • Dec 2022 (1)
  • ▼  2024 (1)
    • Nov 2024 (1)
Powered by Blogger

Member of

1minggu1cerita

Copyright © Stood and Stand. Designed by OddThemes