“Orang-orang
kalo belajar pada berapa jam, sih?”
“Kalo
dibandingin dia belajarku dikit banget, ya.”
“Haduh,
duit segini aja, perasaan ini seleb duitnya kaga abis-abis.”
“Dia
enak banget keterima di ptn sana-sini.”
Psikolog Leon Festinger bilang, bahwa manusia punya
kecenderungan untuk mengevaluasi dirinya sendiri dan seringnya dibandingin sama
orang lain. Manusia juga kadang menetapkan tolak ukur untuk kondisi-kondisi yang
dihadapinya saat ini. Tolak ukur ini antara diri sendiri sama orang yang bisa aja
deket atau mungkin artis-artis yang dilihat di sosial media. Kalau kita baca jurnal yang judulnya, Social comparison, social media, and
self-esteem, studi kasus satunya nunjukin, pengguna yang sering mengakses
Facebook keseringan, lebih punya sedikit kepercayaan diri, dibanding mereka
yang lebih engga sering ngakses. Hal ini , ya, karena self comparison itu sendiri sangat
difasilitasi sama Facebook (baca : sosial media).
Then, jelasnya,
apa sih self comparison itu? Ya,
tadi, bandingin diri sendiri. Sama siapa? Siapapun. Apa yang dibandingin?
Apapun, bisa kemampuan, kebolehan, kepintaran, pencapaian, atau bahkan usaha
yang dilakukan. Ya, sebagai manusia, secara alami memang kita suka
ngulik-ngulik info, “Eh apaan, tu?”, kira-kira gitu.
Pas mau mulai belajar hal baru, misal bahasa asing, kita ngulik-ngulik
dulu, “Mukidi (bukan nama asli) udah jago bahasa ini bukan, sih? Lah aku kaya
jerami diantara jarum dong, nanti?” Awalnya begitu, tapi kita lanjut belajar aja.
Eh sebulan, dua bulan, tiga bulan, lah kok ga jago-jago, dia kok udah fafifu waswiswus pake bahasa itu? Terus kita
bisa aja ada di salah satu dari dua kondisi. Pertama, “Ah, males, kaga keliatan hasilnya.” atau kondisi 2, “Kudu bisa nih, bakal nandingin Mukidi
pokoknya!” Sering?
Perbandingan ini ada dua tipe, yaitu ke orang yang lebih dari kita dan ke orang yang kurang dari kita. Upward
social comparison adalah saat kita bandingin diri sendiri sama orang yang
kita percaya lebih baik dari kita. Orang yang melakukan ini kadang berharap bahwa
mereka bisa belajar memperbaiki diri dan secara ngga langsung ningkatin dirinya.
Seperti yang tertulis di For better or
worse : The impact of upward social comparison on self-evaluations, orang
melakukan upward social comparison dengan
harapan mereka dapat meningkatkan self-assessment
mereka. Kita juga berharap bisa mencapai hasil lebih atau paling tidak sama
dengan mereka (yang kita jadikan perbandingan). Tapi ... tapi ... alih-alih
menjadi termotivasi seperti itu, kadang upward
social comparison juga bisa menimbulkan
evaluasi yang negatif. Parahnya, ya, itu, kehilangan kepercayaan diri. Hal ini ngebuat kita merasa tertekan dan males.
Dengan begini, kita bisa ngerasa usaha atau pencapaian kita selalu ga cukup
bahkan kehilangan gairah untuk meraih tujuan yang kita impikan.
Jenis satunya adalah downward
social comparison. Bandingin diri sendiri sama orang yang worse off than us yang terkadangnya ngebuat
kita ngerasa apa yang kita miliki ini lebih baik atau cukup. Memang apa yang
ada di tangan kita itu ga seberapa tapi seenganya lebih baik
lah dari orang yang kita jadikan perbandingan. Lewat downward social comparison, kita dibuatnya ngerasa superior dan
menolak untuk menantang diri berbuat dan berusaha lebih dari yang sekarang. Di
sisi lain, downward social comparison ngebuat
kita merasa bersyukur karena ternyata ada yang lebih kurang dari kita.
Permisalannya bisa dari segi ekonomi (yang paling sering), prestasi akademik,
dan hal-hal sejenis usaha dan belajar.
”People compare
themselves to those who are better when they want inspiration to improve, and
they compare themselves to those who are worse when they want to feel better
about themselves.” – Kendra Cherry
Buruknya self
comparison adalah perbandingan yang terjadi seringnya imperfect. Kita ga lihat keselurahan variabelnya dan seluruh
realitasnya. Kalo buat kita, lika-likunya kita tahu karena memang kita yang
ngejalanin, tapi kalo orang lain? Walau teman deket, aku ga jamin, kalian tahu seluruh
realitas yang mereka alami. Seluruh
yang aku maksud bener-bener keseluruhan; lingkungan, materi, fisik, mental, dan
lainnya.
Kadang
menjadi kerasa kurang karena yang
kita pengen adalah menjadi lebih.
Maka, jadilah menjadi lebih dengan
cara yang ngga ngebuat kita ngeremehin diri sendiri dan cara yang ngga ngebuat
kita ngerendahin orang lain.