Stood and Stand

by Citra Maharani

Stood and Stand
  • Home
  • Author
  • Portofolio



Et, kenapa judulnya pake hangul? Tulisan ini adalah hasil dari nonton Hospital Playlist Season 2, yuuyeey para penonton hosplay. Yap, episode keenam, juga edisi selepas aku ujian tengah semester (UTS) untuk pertama kali. Selama di SMA, gaada yang namanya UTS dan ngeliat sekolah lain UTS itu jadi “eh, hahaha.” But, now i feel how it likes. Episode 6 terasa pas banget sama minggu ini. Jadi, tulisan ini bisa disebut curhatan dan semangat untuk diri sendiri ^^

Oke, what do I wanna talk about? Berbuat suatu kesalahan di hari-hari yang dijalani, bahkan saat hari untuk sebuah kegiatan besar hadir, cenderung ngebuat diri ngerasa kecewa. Mungkin kita udah nyiapin jiwa dan raga untuk hal itu, ngeluangin waktu, ngurangin jam tidur, dan hal-hal lainnya, tapi kok?? tetep gitu?? Ada aja kesalahan yang kita lakuin, ya, walau persiapan yang dilakuin mungkin ga se “mateng” itu. Terus, ada aja variabel penganggu yang tiba-tiba hadir ga pake salam. Atau mungkin, you’ve done well, tapi hasilnya gak maksimal akibat kesalahan teknis yang bukan dari diri sendiri. Bukan marah atau kecewa, lebih ke, “Huft, yah ..” yang gabisa dipisah alias, ya kecewa dan marah, gabungan keduanya tapi terpendam.

Take a deep breath, breathe out slowly, and relax. Mengingat kejadian yang ngebuat kita mikir kepanjangan dan stress, atau gausah diingat karna baru aja kejadian, alihkan aja. We are all human, rite? It is okay to show our emotions then cry till your room is filled with tears after “that” events. It is okay to make mistakes, di dunia banyak orang yang melakukan kesalahan dan merasa kecewa, everyone makes mistakes, so do they, the “great” person  we know on the internet or social media, so do you and I. Apalagi kesalahan di awal kegiatan yang “baru”, it’s fine. Kita harus mampu bangkit dari kesalahan itu, work smart, work hard, and be better everyday. Kita harus berkembang, belajar darinya, dan terus melangkah maju. Pengalaman tadi adalah sebuah pelajaran. Semua keringat dan tangis yang terjadi dan terjalani, sekarang senyumlah. Jangan lupa mengevaluasi diri, apa yang perlu dibenahi dan diperbaiki serta apa yang harus direncanakan. Tetaplah termotivasi saat berhadapan dengan hambatan-hambatan yang terduga dan yang tidak. Nanti, mungkin saat kita menceritakan kesalahan apa yang kita lakukan kepada orang lain, kita malah atau udah bisa untuk coba menertawakannya, dan merasa lega. Percaya bahwa we have a bright future ahead of us. Cheer up, we’ll be fine! At the end of the day, we are our superstar, we are still the superstar in our own life.

Whatever area that you get into, given that even if you're the best of the best, there is always chance of failure. Because, there is only one thing that makes a dream impossible to achieve: the fear of failure.

For me, be better and happier. 


    Cung, siapa di sini yang hobinya nonton film? Mungkin kalau bukan termasuk hobi, pasti banyak yang sering atau suka banget nonton. Beberapa minggu ini aku cukup banyak berkenalan dengan orang baru karena bagian dari kegiatan perkuliahan di luar akademik, maklum mahasiswa baru tidak luput dari yang namanya perkenalan. Em, banyak banget yang ketika memperkenalkan diri dan menyebutkan hobi yang dimiliki, mereka bilangnya menonton film. Film yang ditonton (dari cerita mereka) pun beragam, ada yang suka menonton film Indonesia, Korea, Jepang, Barat, atau Turki dan negara lainnya. Bagiku yang juga suka nonton film, jadi terbesit di pikiran, ada gasih kaitan film yang pernah atau sering kita tonton sama pola pikir penentuan kesan pertama (first impression) kita pada seseorang? Nah, kali ini itulah yang akan aku bahas <3

    Pertama, yang akan kita ulik itu first impression bias, apa itu? First impression bias adalah keterbatasan dalam pemrosesan informasi manusia yang menyebabkan kita melakukan pengamatan yang cepat dan tidak lengkap tentang orang lain berdasarkan informasi pertama yang kita dapatkan dan rasakan. Bias kesan pertama ini mengacu pada batasan pemrosesan informasi manusia di mana orang itu sangat dipengaruhi oleh informasi pertama yang mereka terima dan mereka juga akan mengevaluasi informasi berikutnya menurut informasi awal tadi. Singkatnya, informasi pertama yang diproses secara terbatas oleh seseorang akan berpengaruh di situasi berikutnya, itulah bias kesan pertama.

    Kesan pertama sendiri mendapat banyak perdebatan apakah ia benar-benar akurat atau tidak. Menurut Daniel Kahneman, penulis Thinking, Fast, and Slow, kesan pertama tidaklah sempurna dan memperbaiki kesan pertama ini sangat menantang. Hal itu terjadi karena kita sering menjadi mangsa Halo Effect. Alexander Todorox, peneliti di Universitas Princeton dan penulis Face Value, beranggapan bahwa begitu kita membentuk kesan pertama pada seseorang, kita cenderung tetap dengan hal tersebut dan memperlakukannya sebagai fakta. Alexander Todorox juga mengatakan bahwa masalahnya adalah penilaian tadi sepenuhnya subjektif dan dapat merugikan. Dicontohkan, saat kita mencoba mempekerjakan orang baru di posisi kepemimpinan, orang yang “terlihat” lebih kompeten, seperti mereka yang berkacamata, lebih mungkin dipekerjakan. Padahal, isyarat wajah yang diterjemahkan menjadi kompetensi seseorang mungkin tidak benar bagi orang yang berbeda. Tentu, hal ini memiliki efek berbahaya bagi perekrut kerja tadi, yaitu bisa saja ia menghambat keragaman dan kemajuan perusahaannya.

    Bias kesan pertama adalah penyebab utama sebagian besar kesalahan perekrutan. Aku tambahkan contoh lagi terkait hal yang terjadi saat prekrutan orang baru. Sebagai hasil dari fokus pada presentasi kandidat atas kinerja mereka, perusahaan sering mempekerjakan orang yang berkinerja buruk dan menghindari mempekerjakan orang dengan keterampilan presentasi yang lebih lemah, padahal memiliki kinerja terbaik. Dampak negatif ganda ini dirangkum di bawah ini.

    Di dalam Effects of Gender and Personality on First Impression, terdapat hasil studi dimana kebanyakan orang cenderung menganggap wajah yang tidak dikenal atau tidak familiar sebagai orang kurang dapat dipercaya. Dibandingkan dengan laki-laki, perempuan memberikan penilaian yang lebih positif untuk orang dengan wajah yang dapat dipercaya.

    Kedua, lalu apa kaitan bias kesan pertama atau first impression bias ini dengan film yang pernah atau sering kita tonton? Mungkin kita pakai contoh dari Chieko Iwashita dalam Roles of Films and Television Dramas in International Tourism: The Case of Japanese Tourists to the UK. Di sini dijelaskan bahwa film dan drama itu berpengaruh kepada kesan wisatawan mengenai negara yang menarik minat mereka untuk dikunjungi dan bagaimana perjalanan yang akan dilewati nantinya. Hal ini termasuk kesan terhadap orang-orang dari negara tersebut tentang bagaimana sikap mereka dalam memperlakukan wisatawan. Ia juga nyambung dengan pembahasan sebelumnya, yaitu kaitan wajah yang tidak dikenal atau tidak familiar dengan mudah atau tidaknya orang tersebut dapat dipercaya. Gini, misal aku belum pernah pergi ke negara X dan tertarik untuk mengulik tentang negara X karena aku ingin berkunjung ke negara itu. Aku coba deh nontoh salah satu film yang cukup menggambarkan bagaimana situasi negara tersebut, budayanya, dan orang-orangnya. Dari film ini banyak kemungkinan yang akan membuat terjadinya bias kesan pertamaku kepada negara X. Nah, dari situ juga, terbentuk dalam benakku gambaran-gambaran tentang kemungkinan apa saja yang bakal terjadi kalau aku mengunjungi negara tersebut. Mungkin aku bersikap lebih hati-hati dan tidak gampang percaya dengan orang-orang dari negara X atau mungkin aku menjadi excited karena orang-orang negara X terlihat sangat ramah terhadap wisatawan.  

    Ada juga penelitian yang menyebutkan tentang perubahan perilaku anak muda setelah menonton film. Apa itu? Dicontohkannya tentang anak muda yang menonton film tentang orang yang lebih tua dari stage umur mereka. Setelah menonton itu, mereka menunjukkan stereotip yang sama kepada orang yang lebih tua di kehidupan nyata mereka dengan yang ada di dalam film tadi. Sebaliknya, ada sebuah penelitian yang membagi beberapa orang menjadi 4 kelompok untuk menentukan pengaruh bias kesan pertama. Empat kelompok tersebut adalah teks dengan isyarat bias kesan pertama, multimedia dengan isyarat bias kesan pertama, teks tanpa isyarat bias, dan multimedia tanpa isyarat bias. Isyarat bias kesan pertama tadi dirancang dengan memberikan informasi yang tidak lengkap serta tidak menguntungkan bagi kepala departemen, tetapi kemudian mereka diberi informasi yang dimaksudkan untuk mendukung kinerja kepala departemen. Tugas mereka (empat kelompok tadi) adalah melakukan penilaian kinerja lima tahunan pada kepala departemen. Secara keseluruhan, hasil menunjukkan skor penilaian kelompok multimedia (penyampaian informasi contohnya dengan video) dengan isyarat bias tidak berbeda dengan kelompok multimedia tanpa isyarat bias. Bearti di sini, isyarat bias kesan pertama tidak mempengaruhi penilaian seseorang terhadap orang lain.

    First impression bias itu ada di dalam keseharian kita dan banyak kemungkinan hal tersebut terjadi pada kita. Dari film-film yang kita tonton, kita mendapat banyak wajah baru yang sebelumnya mungkin ga familiar di kita atau yang sebelumnya sudah familiar, tetapi berbeda dengan yang ada di sekitar kita. Dengan melihat banyak film, kita jadi memiliki banyak gambaran yang akan mempengaruhi first impression kita pada orang yang baru kita ajak berkenalan. Juga, mungkin ketika melihat wajah yang “mirip sama aktor/aktris” di film blabla kita jadi nganggep orang itu berkepribadian sama kaya karakter dalam film tadi. ”Oh, orang ini kok kaya yang ada di film X, ya, ooo, mungkin dia juga kaya begitu kali.” “Wo, wajahnya mirip banget sama karakter di film X.” Namun juga, dengan hal tersebut kita dapat melihat seseorang dari banyak perspektif yang ada yang tentu dapat bermanfaat untuk menambah wawasan kita. “Em, biodata yang dia ceritain kaya gitu, ya, oh mungkin itu hanya kulitnya saja” “Duh, kok keliatan cuek banget perkenalannya, oh gapapa mungkin karena memang baru kenalan pertama kali, kan.” Begitu deh contohnya. Kesimpulan yang ingin aku tarik adalah tayangan atau film yang kita tonton dapat menyebabkan hal positif (terkait first impression) bagi mereka yang mencoba atau mampu berada di sudut pandang orang lain.  Terima kasih semuanya sudah membaca sampai akhir, ga kerasa udah hampir 2 minggu blog ini ga update.

References

Chieko Iwashita (2008) Roles of Films and Television Dramas in International Tourism: The Case of Japanese Tourists to the UK, Journal of Travel & Tourism Marketing, 24:2-3, 139 151, DOI: 10.1080/10548400802092635

Eliminate First Impression Bias And Hire Right Candidate https://www.linkedin.com/business/talent/blog/talent-strategy/eliminate-first-impression-bias-and-hire-right-candidate

Graeff, Kathryn, "Seeing you from your point of view: perspective-taking and first impression accuracy" (2019). Masters Theses and Doctoral Dissertations.
https://scholar.utc.edu/theses/582

Kai H. Lim, Izak Benbasat, Lawrence M. Ward The Role of Multimedia in Changing First Impression Bias. Information Systems Research 11 (2) 115-136 https://doi.org/10.1287/isre.11.2.115.11776

Kubrak T. Impact of Films: Changes in Young People’s Attitudes after Watching a Movie. Behavioral Sciences. 2020; 10(5):86. https://doi.org/10.3390/bs10050086

Mattarozzi K, Todorov A, Marzocchi M, Vicari A, Russo PM (2015) Effects of Gender and Personality on First Impression. PLOS ONE 10(9): e0135529. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0135529

The First Impression Bias https://thedecisionlab.com/reference-guide/psychology/the-first-impression-bias/

 

3nq-sns


Tonight We Dine In Hell 300 GIFfrom Tonight We Dine In Hell GIFs

Sharing about the movie I've watched on this blog for the first time would open this review. I'm not gonna telling you bout the director or kind of stuff like that, but really on the point that I thought badly want to share with you.

This movie was released in 2006 and yeah, the cinematic, while it was monotonous but it was fine! Overall the movie, you will see the same filter, if you expect a good cinematic, hopefully, you'll think that again. But really! It's not boring from the beginning to the ending! Yea sounds like I'm into it, but yes, I'm into it hahaha.

Quality seems so clear in this 300 movie, as the title, 300 Spartans fight over 170.000 Persian less more. At first, Leonidas The King did not get permission from the respected people of Sparta, I forget their name. Leonidas hesitated then, fight, not, fight, not. He told it to his wife, Gorgo (reminded me of Cersei hehe). Gorgo said, “What should freeman do?” woo in the heart. Leonidas immediately jolted his heart.

Next to the battle that I'm so excited about. Blood mm it's .. plain sight ... If you kind of people who don't like seeing a lot of blood or violent stuff, I warn you. My heart races I feel most in this movie, its slow effects, really make me like I'm feeling the battle and pain. There are so many Persian tactics, one way or another. There's a titan, witches, immortals, elephants, rhino, aaa lot of kind weapon they use to fight over 300, yea, 300 Spartans. The confidence of Leonidas reminds of someone's words that there's no luck, no sudden thing, then why? It's because you, you ready for it, for its glory. During the fight, there's one scene with the slow effect that I wanted most to give it a back sound, AAA .. AA .. AAA .. AA, if you know Ragnarok, yea the “AA” sounds like it.

Begin to the ending, there's one scene that hmm I “oh, pls no” way, yes, when Leonidas kneels down. Why I feel this way is because I don't see if Leonidas wants to attack the king of Xerxes directly. Then, wow, Leonidas' weapon got Xerxes!

Of course with its ending of Leonidas, I'm .. ok with it. The impact of this warrior spirit finally made the dream of Leonidas come true. I recommend you to see this movie when you are not in your full energy and want to recharge to feel better and moved to fight for your own battle.

Thanks for you all reading till its ending, Happy Holiday! If you are so.

endless-sns


Untuk Lily merahku,

Ayah Ibumu bukanlah mereka yang menjadikanmu ada, bukan pula mereka yang mengatakan kebenarannya. Kau pun tahu soal ini, dari siapa yang kau temui kala itu, tujuh tahun berlalu. Bertemu dengan tubuh fanamu yang hampa tanpa kehendak pribadi membuat pertemuan itu hanya sekedar temu tanpa kata. Berhari-hari tak kucoba pikirkan tentangmu, tapi nyatanya ini tertulis. Saat aku ingin mengisi waktu dengan tempat kumenetap pasti, kudapati diriku ada dalam hangatmu. Perlahan kuharap kehendak pribadimu mulai ada, Lily.

Kini mereka membawaku pergi ke tempat yang tak kau ketahui. Jauh darimu lantas membuat kenangan kecil itu mendominasi. Senyum dan canda tawamu dulu, membuat kami hidup, Lily. Hanya saja perang ini memisahkan kita dari Ayah Ibumu. Kutakuti ia juga akan memisahkanku darimu.

Di taman tempat kau dirawat, hanya mengerti kata yang kutulislah harapan kecilku padamu, andai-andai kau dapat tersenyum padaku saat telah sampai. Ketahuilah bahwa kau tak sendiri dan ada aku yang akan menghabiskan waktunya bersamamu. Bersama, Lily.

Saudarimu,

Gen

Penghabisan waktu itu memang mereka lakukan bersama dalam ketenangan. Surat yang sampai saat perempuan muda beraga, tetapi pikiran dan perasaannya terputus dinyatakan telah tiada.  Surat harapan seorang saudari yang telah gugur, tak pernah dibaca Lily si rambut merah.  

sc-sns


 “Orang-orang kalo belajar pada berapa jam, sih?”

“Kalo dibandingin dia belajarku dikit banget, ya.”

“Haduh, duit segini aja, perasaan ini seleb duitnya kaga abis-abis.”

“Dia enak banget keterima di ptn sana-sini.”

    Psikolog Leon Festinger bilang, bahwa manusia punya kecenderungan untuk mengevaluasi dirinya sendiri dan seringnya dibandingin sama orang lain. Manusia juga kadang menetapkan tolak ukur untuk kondisi-kondisi yang dihadapinya saat ini. Tolak ukur ini antara diri sendiri sama orang yang bisa aja deket atau mungkin artis-artis yang dilihat di sosial media.  Kalau kita baca jurnal yang judulnya, Social comparison, social media, and self-esteem, studi kasus satunya nunjukin, pengguna yang sering mengakses Facebook keseringan, lebih punya sedikit kepercayaan diri, dibanding mereka yang lebih engga sering ngakses. Hal ini , ya, karena self comparison itu sendiri sangat difasilitasi sama Facebook (baca : sosial media).

     Then, jelasnya, apa sih self comparison itu? Ya, tadi, bandingin diri sendiri. Sama siapa? Siapapun. Apa yang dibandingin? Apapun, bisa kemampuan, kebolehan, kepintaran, pencapaian, atau bahkan usaha yang dilakukan. Ya, sebagai manusia, secara alami memang kita suka ngulik-ngulik info, “Eh apaan, tu?”, kira-kira gitu.

    Pas mau mulai belajar hal baru, misal bahasa asing, kita ngulik-ngulik dulu, “Mukidi (bukan nama asli) udah jago bahasa ini bukan, sih? Lah aku kaya jerami diantara jarum dong, nanti?” Awalnya begitu, tapi kita lanjut belajar aja. Eh sebulan, dua bulan, tiga bulan, lah kok ga jago-jago, dia kok udah fafifu waswiswus pake bahasa itu? Terus kita bisa aja ada di salah satu dari dua kondisi. Pertama, “Ah, males, kaga keliatan hasilnya.” atau kondisi 2, “Kudu bisa nih, bakal nandingin Mukidi pokoknya!” Sering?

    Perbandingan ini ada dua tipe, yaitu ke orang yang lebih dari kita dan ke orang yang kurang dari kita. Upward social comparison adalah saat kita bandingin diri sendiri sama orang yang kita percaya lebih baik dari kita. Orang yang melakukan ini kadang berharap bahwa mereka bisa belajar memperbaiki diri dan secara ngga langsung ningkatin dirinya. Seperti yang tertulis di For better or worse : The impact of upward social comparison on self-evaluations, orang melakukan upward social comparison dengan harapan mereka dapat meningkatkan self-assessment mereka. Kita juga berharap bisa mencapai hasil lebih atau paling tidak sama dengan mereka (yang kita jadikan perbandingan). Tapi ... tapi ... alih-alih menjadi termotivasi seperti itu, kadang upward social comparison juga bisa menimbulkan evaluasi yang negatif. Parahnya, ya, itu, kehilangan kepercayaan diri.  Hal ini ngebuat kita merasa tertekan dan males. Dengan begini, kita bisa ngerasa usaha atau pencapaian kita selalu ga cukup bahkan kehilangan gairah untuk meraih tujuan yang kita impikan.

    Jenis satunya adalah downward social comparison. Bandingin diri sendiri sama orang yang worse off than us yang terkadangnya ngebuat kita ngerasa apa yang kita miliki ini lebih baik atau cukup. Memang apa yang ada di tangan kita itu ga seberapa tapi seenganya lebih baik lah dari orang yang kita jadikan perbandingan. Lewat downward social comparison, kita dibuatnya ngerasa superior dan menolak untuk menantang diri berbuat dan berusaha lebih dari yang sekarang. Di sisi lain, downward social comparison ngebuat kita merasa bersyukur karena ternyata ada yang lebih kurang dari kita. Permisalannya bisa dari segi ekonomi (yang paling sering), prestasi akademik, dan hal-hal sejenis usaha dan belajar.

”People compare themselves to those who are better when they want inspiration to improve, and they compare themselves to those who are worse when they want to feel better about themselves.” – Kendra Cherry

    Buruknya self comparison adalah perbandingan yang terjadi seringnya imperfect. Kita ga lihat keselurahan variabelnya dan seluruh realitasnya. Kalo buat kita, lika-likunya kita tahu karena memang kita yang ngejalanin, tapi kalo orang lain? Walau teman deket, aku ga jamin, kalian tahu seluruh realitas yang mereka alami. Seluruh yang aku maksud bener-bener keseluruhan; lingkungan, materi, fisik, mental, dan lainnya.

    Kadang menjadi kerasa kurang karena yang kita pengen adalah menjadi lebih. Maka, jadilah menjadi lebih dengan cara yang ngga ngebuat kita ngeremehin diri sendiri dan cara yang ngga ngebuat kita ngerendahin orang lain.

    

pnk-sns

    Dua puluh? Dua puluh lima? Kala itu entah berapa tahun telah berlalu. Tak kuketahui pasti, tapi dia adalah seorang pemuda. Pemuda dengan rambut gundul dan wajah tanpa ekspresi. Kulitnya hitam kusam, seperti arang yang menjadikan ia punya pekerjaan. Mungkin mandi menjadi hal asing baginya atau mungkin terlalu membuang waktu? Siang malam ia berjibaku membuat arang. Ya .. maklum, Idul Adha sebentar lagi datang. Semangatnya tak perlu ditanyakan lagi, lihat saja penampilannya. Saat inilah, kantong yang sebelumnya terisi angin kini berharap aliran cuan. “Apa kau saat ini bahagia?” tanyaku pada pemuda itu. “Tentu saja! Kau tak lihat wajah ini?” jawabnya. Padahal bila aku boleh bersuara, akan kutanyakan pada orang lain, “Wajah ‘itu’, apa menurutmu menggambarkan sesuatu?”


    

kucing-sns

    Kucing saat ini menjadi hewan peliharaan yang populer. Terlebih di masa pandemi, orang-orang diharuskan berdiam diri di rumah. Cenderung merasa bosan berkegiatan yang itu-itu aja, orang-orang mulai melirik kucing, yang dari sananya, imut. Entah itu kucing liar yang kita dapetin dari suatu tempat, yang tiba-tiba dateng sendiri ke rumah, dikasih kenalan yang udah lama suka kucing, atau kita sendiri yang beli. Memelihara kucing tentunya kita butuh pakan, tempat dia ‘eek’, dan sebagainya. Makanan kucing pun beragam banget variannya sampe ada snacknya juga.

    Baru-baru ini temenku tiba-tiba tanya random, “Kalo manusia tiba-tiba gaada, nasib kucing gimana ya? Kan biasanya yang ngasih makan kita? Sekarang juga jarang kucing yang makan tikus.” Pertanyaan (yang kira-kira begitu) ini menarik dan bingungin sih. Pertama, kok tiba-tiba gaada itu gimana? Tiba-tiba gaadanya itu karena apaan? Menurutku, kalo gaadanya manusia karena bencana alam dan semacamnya, sebagian besar kucing pasti ikutan ‘gaada’. Ya kalo tiba-tiba beberapa manusia ilang kaya di series  The Society, aneh sih, kebetulan aku juga belum nyelesein nonton seriesnya. Karena aku tergolong orang yang melihara kucing dari lama dan sebelumnya belum pernah baca atau tahu asal muasal kucing rumahan, penasaran deh hihi.

Let’s begin ..

    Para peneliti menemukan bahwa penyebaran kucing terbagi dua gelombang. Pertama, ketika pertanian muncul pertama kali di daerah timur Mediterania dan Turki. Masyarakat saat itu menyimpan biji-bijian yang menarik tikus-tikus pada dateng. Nah, si kucing liar zaman itu tertarik dengan para tikus ini dan nyamperin mereka di tempat penyimpanan biji-bijian tadi. Buat ngontrol populasi para tikus ini, masyarakat memotivasi para kucing untuk stay at home  tetap tinggal di daerah itu yang akhirnya mengarah ke dalam budidaya kucing domestik. Begitulah yang diperkirakan Eva-Maria Geigl dan rekan-rekannya dari Insititute Jacques Monod di Paris.

    Gelombang dua penyebaran kucing terjadi beberapa tahun kemudian. Para peneliti tadi menemukan bahwa kucing yang memiliki keturunan mitokondria dari Mesir mulai muncul di Bulgaria, Turki dan sub-Sahara Afrika antara abad keempat sebelum masehi. Di abad keempat Masehi, mereka percaya bahwa para pelaut mulai memelihara kucing di atas kapal untuk mengontrol populasi tikus. Kucing ini jadi menyebar saat para pelaut melakukan misi perdagangannya.

    Para peneliti ini juga menemukan bahwa DNA dari beberapa spesimen menunjukkan bahwa mutasi kucing tidak terjadi hingga abad pertengahan. Selama beberapa dekade, para peneliti percaya para kucing telah dipelihara di Mesir sekitar 4.000 tahun yang lalu. Tapi, narasi ini dipatahkan oleh penemuan tulang kucing di kuburan manusia yang berusia 9.500 tahun di Siprus pada tahun 2004. Dalam penelitian lain tahun 2014, kucing domestik dibiakkan di Mesir pada 6.000 tahun yang lalu (penemuan ini sesuai dengan kronologi yang dibuat oleh Geigl dan rekan-rekannya).

    Si kucing-kucing tadi tertarik sama para tikus, mereka pasti ngikutin kata hati dan perut mereka sendiri kan ya buat nangkep para tikusnya, bukan manusia yang dengan mudahnya memerintah si kucing buat, “Noh, tikus-tikus tangkepin, buat lo pada makan!” Em .. kalo gitu bearti pasti ada faktor yang bikin si kucing betah hidup bersimbiosis dengan manusia dari dulu. Nah, ada sumber lain yang mengatakan jika kucing telah mendomestikan dirinya sendiri sejak dulu kala. Menurut Stephen O’Brien dari National Cancer Institute, kucing punya genetik yang memudahkan mereka untuk dapat berinteraksi dengan manusia. Ini juga yang memungkinkan kucing lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan manusia di sekitarnya. Ternyata cukup rumit dan panjang ya sejarah kucing sama manusia ini.

Newer Posts Older Posts Home

Categories

  • Health 1
  • HoW? 3
  • Landing 4
  • Lintas 8
  • Movie 7
  • Storiette 5
  • Thoughts 12
  • Women 3

Popular Posts

  • ABOUT
  • Segala Hal Baik di Dunia
  • Itu bukan Pencapaian yang Belum Tercapai, ko!

Archive

  • ►  2021 (18)
    • May 2021 (3)
    • Jun 2021 (2)
    • Jul 2021 (3)
    • Aug 2021 (2)
    • Sep 2021 (2)
    • Oct 2021 (2)
    • Nov 2021 (3)
    • Dec 2021 (1)
  • ►  2022 (15)
    • Jan 2022 (5)
    • Feb 2022 (5)
    • Mar 2022 (2)
    • May 2022 (1)
    • Jul 2022 (1)
    • Dec 2022 (1)
  • ▼  2024 (1)
    • Nov 2024 (1)
Powered by Blogger

Member of

1minggu1cerita

Copyright © Stood and Stand. Designed by OddThemes