Ada Apa Dengan Halo Effect?

    Saat ketemu orang buat pertama kalinya, kadang kita tu ngeliatin dulu “dia” dari penampilannya. Ya, kalau ada kesempatan ngomong, dari cara bicaranya lah. Dari itu otak kita sering nyimpulin, of course dengan cepatnya, “he/she is beautiful then he/she is also good”. Atau pernah ngga kalau ada orang yang berkacamata dan bawa buku kemana-mana kita bilangnya dia itu pinter dan rajin. Atau lagi, kalo liat anak laki-laki tetangga lagi nyapu atau ngepel rumah kita bilangnya, Duh rajin banget idaman nih. Pernah dan keinget? Hmm.. well itulah yang disebut Halo Effect.

    Kesan pertama yang cenderung positif dalam menilai seseorang itu disebut Halo Effect. Pertama kali dikenalinya oleh Edward Thorndike, seorang psikolog asal Amerika di artikelnya yang berjudul, A Constant Error in Psychological Ratings. Di sini, Edward Thorndike menggambarkan bahwa Halo Effect sebagai bias kognitif di mana satu aspek dari seseorang membentuk pendapat seseorang tentang dimensi dan fitur lain dari orang itu. Seperti contoh yang aku sebutin tadi, cuma karena liat orang kacamataan pegang buku kita langsung nyimpulin bahwa dia pinter dan rajin, padahal untuk mencapai penilaian itu kita harusnya kenal baik dulu orang itu bagaimana dan ya, baru nyimpulin, bukan hanya karena satu aspek penampilan dia aja.

    Ada suatu ketika, seorang guru melihat anak-anak didiknya dan beliau punya ekspetasi yang cenderung berlebih kepada anak didik yang berpenampilan menarik. Guru tersebut cenderung menilai bahwa anak didik yang menarik tadi akan punya akademi yang bagus dan berbakat. Sebaliknya juga terjadi, anak didik yang melihat penampilan gurunya dengan rapi, mereka menilai gurunya akan ramah dan baik hati kepada mereka. Kalau di dunia kerja, mungkin kita sering lihat orang yang pakaiannya bagus, tertata, dan wangi adalah orang yang kompeten di bidangnya dan mudah mendapat posisi yang dia inginkan karena mendapat apreasi dari si pencari kerja (Juga termasuk penampilan politisi di awal kemunculannya yang ngebuat kita pengen nyoblos).

    Then, apa salah kalau kita berpenampilan ”baik” di depan umum? Fokusnya bukan kesitu. Fokus kita adalah kenapa nih, kita, menilai sesuatu aspeknya kok pake satu doang, cuma di awal lagi. Oke kita pake contoh selain orang, yaitu makanan. Dalam British Food Journal yang berjudul The Halo Effect of Biofortification Claims on Taste Inference and Purchase Intention, nunjukin eksperimennya bahwa “biofortification claims” memang muncul untuk membangkitkan “a heuristic halo effect” di mana makanan yang punya “biofortification claims” disimpulkan rasanya lebih enak dari makanan biasa. Dan karena itu, peserta eksperimen ini pun cenderung membeli dan memilih makanan dengan “biofortification claims”. Bahkan kita belum nyoba atau dengar pendapat dari orang yang pernah nyobain. Hmm?????

    Penilaian terburu-buru inilah yang menghambat proses berpikir kita, maunya cepet-cepet aja. Hal inilah yang perlu kita hindari. Kalau kita mengira AB ini begini begitu karena si Halo Effect, kita bisa dirugikan dan kecewa sewaktu-waktu karena ekspetasi kita ga tercapai. Kita bisa terjebak merugi karena yang kita pikir seharusnya begini ternyata kenyataannya begitu. Atau, nanti kita sendiri yang terbebani batin saat dikira orang, kita bisa ngelakuin semua hal karena penampilan kita menarik, Halo Effect.

    Di The Halo Effect Revisited: Forewarned is Not Forearmed, penelitiannya melakukan pemberian penjelasan terhadap peserta tentang Halo Effect dan membuatnya sadar akan dampaknya. Namun, semua peserta atau subjek ini rentan terhadap Halo Effect. Peserta menilai instruktur mereka hanya dari penampilannya.  Peringatan dan instruksi sebelumnya juga tidak berdampak pada kesadaran peserta tentang Halo Effect.

    Well, semoga kita bisa melek atas adanya si Halo Effect ini. Manusia memang memiliki sisi kecenderungan terhadap keyakinan moralnya masing-masing. Kita sebagai pribadi harus lebih terbuka bahwa setiap manusia itu berbeda-beda, unik, dan memiliki nilai-nilai pribadinya, dengan begitu kita bisa menghargai keberadaan setiap manusia itu sendiri. Agar asumsi-asumsi kita tidak membawa konsekuensi negatif di kemudian hari.

0 comments