Stood and Stand

by Citra Maharani

Stood and Stand
  • Home
  • Author
  • Portofolio

    Berbicara soal perkembangan sains, justru dewasa ini mengantarkan kita pada suatu masalah. Penemuan-penemuan terkini yang terjadi karena perkembangan sains dan keberadaan agama yang dianggap semakin tergusur karenanya membuat kita seolah dipertanyakan, “Antara pisang dan tahu, mana yang lebih makanan?” Masalah fundamental yang sering dialami masyarakat bahwa segala sesuatu yang berbeda harus ada yang lebih baik, berakhir pada kebiasaan pertarungan pendapat serta pencarian siapa yang kalah dan menang dengan dihitung dari banyaknya masa yang memihak. Ditambah dengan banyaknya akses terhadap perdebatan soal agama dan sains membuat masyarakat merasa seperti tersandera. Di satu sisi orang-orang beragama dianggap terlalu mendukung penjelasan peristiwa secara mistis atau supranatural, sementara para ilmuwan dinilai terlalu jauh dari standar moral dan mulai menganggap agama tidak lagi diperlukan. Benarkah demikian adanya? Mari kita coba gambarkan keadaan ini dengan beberapa hipotesis berikut, premis pertama adalah jika sains semakin berkembang maka agama mulai tergusur keberadaannya. Premis kedua adalah sains semakin berkembang. Kesimpulan apa yang dapat diambil? Apakah “Jadi agama mulai tergusur keberadaannya”? Tentu saja kesimpulan tadi tidak akurat. Lalu, apa kesimpulannya? Kesimpulan dari dua premis di atas tergantung bagaimana cara pemikiran kritis kita bekerja. Berpikir kritis terjadi ketika kita mengidentifikasi, menganalisis, dan mengavaluasi suatu argumen pada sebuah informasi yang ada. Kita harus menyelidiki keakuratan suatu argumen agar tahu batasan dan hal apa saja yang perlu dipertimbangkan.

    Mari kita memulai penyelidikan tersebut. Kalau ditanya apa fungsi agama dalam perkembangan sains, apa jawaban Anda? Menurut saya, agama berperan pada standar moral suatu ilmu pengetahuan atau sains. Ia bak kompas moralitas atas kebebasan nilai yang dimiliki sebuah ilmu pengetahuan. Agama juga mengontrol nafsu seorang manusia. Bagaimana contohnya? J. Robert Oppenheimer adalah sosok dibalik penciptaan bom nuklir pertama bersama dengan Albert Einstein. Mungkin kita langsung berpikir bahwa kedua ilmuwan ini bertentangan dengan nilai kedamaian yang dibawa oleh agama dan dunia secara umum, tetapi tenanglah dulu. Mereka percaya bahwa penelitian dan pengembangan bom nuklir ini akan membuat dunia lebih aman dan lebih tenteram. Namun, akhirnya bom nuklir ini jatuh di tangan orang-orang penuh nafsu untuk menguasai dunia. Kebebasan nilai yang dimiliki bom nuklir berujung bernilai negatif karena hal tersebut. Rumus-rumus yang ditemukan oleh para ilmuwan terkait bangun ruang juga hanya sebuah rumus yang bebas nilainya, sampai rumus-rumus ini digunakan oleh pengguna dengan tujuan yang berbeda. Di sinilah peran agama sebagai kompas moralitas penting keberadaannya. Kita sering mendengar adanya sumpah profesi atau kode etik sebuah pekerjaan, sebut saja pada dokter, tenaga medis, teknisi, dan lainnya yang tentu saja hal ini menunjukkan aspek moral dalam ilmu pengetahuan.

    Kembalilah kita ke masalah awal, apakah perkembangan sains akan menggusur keberadaan agama? Perkenankan saya untuk menjelaskannya dengan contoh. Agama menyebutkan eksistensi jin, setan, dewa dan malaikat. Kita ambil kejadian ketika petir menyambar dan hujan turun yang dulunya dianggap karena adanya Dewa Thor atau Dewa Indra atau Malaikat Mikail, atau potongan kertas kecil yang tertarik pada penggaris setelah digosokkan pada rambut, bearti rambut tersebut terdapat jinnya, atau lagi pemikiran soal manusia hanya memiliki 5 indra yang memiliki kapasitas untuk mengindrakan lingkungannya dan salah kaprah soal keberadaan indra keenam pemberian khusus dari Tuhan walau pada kenyataannya 5 indra tadi adalah indra terbesar dan masih ada indra tekanan, suhu, posisi, kesetimbangan, ketengangan otot, rasa lapar, serta masih banyak lagi. Muncul juga horoskop orang Babilonia sekitar 2300 tahun lalu yang mengaitkan tanggal lahir serta letak bintang di langit dengan nasib dan kepribadian seseorang dan semua orang dapat merasa hasilnya sangat akurat padahal hal itu merupakan penjelasan secara umum yang tidak akurat. Tentu saja, perkembangan sains akan menggusur klaim-klaim primitif soal hubungannya dengan agama atau eksistensi di atas manusia karena nalar masyarakat modern akan lebih menerima penjelasan sains ketimbang hal-hal berbau supranatural yang kuno tadi. Marilah berbicara untuk setiap hal sesuai dengan kapasitasnya dan tahu soal konteks juga cara menempatkan diri serta tidak membuat seolah agama dan sains berbenturan dan harus memilih antara keduanya.

    Inilah peran penjelasan penemuan sains yang baik perlu dilakukan. Pertama kali yang perlu ditegaskan adalah ilmu pengetahuan tidak mengklaim bisa menjawab semua pertanyaan dan dia terbuka pada penyempurnaan. Kedua, minimalkan superioritas antara penjelas dan pendengar, bawakan sains seperti mendongeng pada anak-anak. Peletakan perspektif penjelas di atas pendengar juga diperlukan agar miskonsepsi dapat diminimalkan, ditambah dengan pengaitan sains dengan kejadian sebelumnya yang sudah ada dalam kehidupan sehari-hari akan semakin menambah semangat mereka, bahkan orang awam, untuk penasaran dan mengerti penemuan sains tersebut. Sains ada dalam keseharian kita bahkan sebelum kita menyadari keberadaannya dalam setiap udara yang kita hirup dan nafas yang kita hembuskan, sains memiliki kebebasan nilainya, baik entah buruk, and science is amazing.

    Pada hari Jum’at tanggal 12 November kemarin, kita semua memperingati Hari Kesehatan Nasional atau HKN. Peringatan ini dapat menjadi momentum baik untuk kita semua dalam dalam mengingat pentingnya kesehatan. Pula, kita semua sadar bahwa kesehatan adalah sebuah hak dan pelayanan dasar yang harus dipenuhi negara kepada masyarakatnya. Pelayanan dasar inipun harus diselenggarakan secara berkeadilan dan tidak diskriminatif, sesuai dengan apa yang tercantum dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Jelas bahwa untuk setiap warga negara, dengan penyakit yang diderita ataupun disabilitas yang dimiliki, mempunyai hak sama untuk memperoleh pelayanan kesehatan dengan mutu yang baik.

    Namun, hal ini tidak begitu saja mulus jalannya, ada banyak tantangan dan keterbatasan sumber daya yang seringkali membuat pelayanan dasar belum dapat diakses. Beruntungnya, penyelenggaraan program layanan kesehatan yang inklusif terus diupayakan oleh banyak pihak, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), bahkan oleh badan-badan usaha melalui program CSR atau Corporate Social Responsibility yang juga berarti tanggung jawab sosial perusahaan.

    KBR atau Kantor Berita Radio dengan bekerja sama dengan komunitas 1 Minggu 1 Cerita pada hari Rabu tanggal 24 November 2021, mengadakan talkshow di Ruang Publik KBR bersama 2 narasumber, yaitu Bapak Eman Suherman, SSos. selaku Ketua TJSL PT DAHANA dan dr. Febrina Sugianto selaku Junior Technical Advisor di NLR Indonesia. Talkshow kali ini mempunyai topik, yaitu “Bahu Membahu untuk Indonesia Sehat dan Bebas Kusta”. Untuk lebih memahami kusta itu sendiri, mari kita mengerti apa itu kusta, bagaimana efeknya, sistem penularan, juga cara pengobatannya secara singkat.

    Dilansir dari laman Instagram NLR Indonesia, istilah kusta sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, Khusta, yang memiliki arti kumpulan gejala-gejala kulit. Kusta dalam bahasa Inggris disebut Lepra atau Hansen Diseases. Kuman yang menjadi penyebab kusta adalah Mycrobacterium Leprae yang diidentifikasi oleh Dr. Hansen (Norwegia) pada tahun 1873. Kusta termasuk penyakit tua yang dahulu dianggap sebagai kutukan, sehingga para penderitanya cenderung diasingkan dari lingkungan. Penyakit kusta menyerang bagian tubuh utamanya di antara saraf dan kulit. Bila penyakit ini tidak segera ditangani, ia akan sangat progresif dan dapat menyebabkan kerusakan pada kulit, sara, dan mata yang bisa berujung pada disabilitas. Penularan kusta terjadi karena beberapa hal, pertama bakteri kusta menular melalui saluran pernafasan, kedua kusta hanya akan menular jika terjadi kontak langsung secara berulang atau intens dengan pasien kusta yang belum berobat, dan yang ketiga kusta tidak akan menular jika hanya bersentuhan 1 atau 2 kali saja. Orang dengan diagnosis kusta biasanya akan diberikan kombinasi antibiotik MDT atau Multi Drugs Therapy dari dokter sebagai langkah pengobatan selama enam bulan sampai dua tahun.

    Dalam talkshow yang diadakan oleh KBR, masing-masing narasumber memaparkan kontribusi bersamanya dalam menangani masalah di kusta ini. Bapak Eman Suherman, SSos. selaku perwakilan dari PT DAHANA (Ketua TJSL) menyampaikan program-program apa saja yang PT DAHANA lakukan dalam mengatasi masalah kesehatan dan dalam komitmen CSR. PT DAHANA, sebut Bapak Eman, “Kami melakukan program-program sebagai implementasi dari perencanaan program berkelanjutan atau SDGs dengan fokusnya pada kebutuhan dasar hidup, salah satunya kesehatan.” Jelas Bapak Eman, beberapa tahun belakang, PT DAHANA mengadakan program pengobatan massal yang menyisir seluruh masyarakat di sekitar lingkungan PT DAHANA. Mulai tahun 2021 ini, PT DAHANA berfokus pada program penanggulangan penyakit kusta. Tepatnya dengan lingkungan terdekat dari PT DAHANA, yaitu Kecamatan Cibogo, Kabupaten Subang yang setiap tahunnya ada 1000 peserta. Selanjutnya dr. Febrina Sugianto sebagai Junior Technical Advisor NRL Indonesia, menjelaskan bahwa NRL di setiap kegiatannya selalu berfokus pada membagikan pengetahuan soal kusta dan bercita-cita menghapuskan stigma yang menimpa para penderita kusta. NRL mempunyai 4 proyek utama, yaitu SUKA ( Suara Untuk Indonesia Bebas Kusta), LEAP (Dukungan ekonomis Inklusif), PADI ( Dukungan kepada anak anak Disabilitas dan anak anak OYPMK (Orang yang Pernah Mengalami Kusta) yang telah mengalami Disabilitas), dan MIBM (Program pengembangan pengetahuan Hak Reproduksi Seksual) bagi anak anak dengan Disabilitas.  

    Selanjutnya, sesi bertanya pun dilaksanakan, penanya pertama menanyakan program yang dilakukan Indonesia secara umum untuk menangani kusta ini. Pemerintah sendiri sudah sangat serius dalam menangani penyakit kusta, alokasi dana yang diberikan juga setiap tahunnya meningkat. Apa yang diharapkan dalam Indonesia dapat mengeliminasi penyakit ini dan menuntaskannya agar tidak ada lagi penderita yang bertambah. Mengingat bahwa Indonesia menduduki rangking ketiga dari negara-negara paling endemis di dunia setelah India dan Brazil. Untuk pertanyaan selanjutnya, berkaitan dengan pengenalan gejala dari penyakit kusta. Dr. Febrina Sugianto menjelaskan, bahwa gejala yang paling mudah dikenali adalah adanya bercak keputih-putihan, terkadang juga berwarna merah dan tidak berasa rasa pada daerah tempat bercak tersebut ada (contohnya, tidak terasa gatal saat digaruk). Lalu, salah satu penanya juga menanyakan bagaimana melakukan sosialisasi terhadap penyintas. Terjawab bahwa fokus utama dari sosialisasi adalah keluarga, karena adanya penyintas maka kewaspadaan harus lebih tinggi dan kecurigaan juga harus lebih besar karena penyakit kusta tahap awal tidak mempengaruhi kerja tubuh dalam sehari-harinya.  

    Bahasan selanjutnya adalah bagaimana bila salah satu anggota keluarga atau penderita kusta mendapat pengobatan yang terlambat (berkaitan dengan tidak terpengaruhnya tubuh karena kusta tahap awal)? Hal yang terpenting adalah support, keluarga haruslah memberikan dukungan secara mental dan sebisa mungkin membangun suasana agar pasien tidak merasa dijauhi atau dikucilkan dan lebih bersemangat menjalani pengobatan. Terkait dengan hal ini pula, Bapak Eman Suherman, Ssos. membagikan cerita bahwa salah satu kendala dan tantangan soal mengetahui keberadaan penderita kusta dan tracing atau pelacakan adalah karena adanya pandemi Covid-19. Kemudian, Dr. Febrina Sugianto juga menambahkan bahwa saat pandemi kasus kusta ini menurun, tentu hal ini terdeskripsi dalam dua sisi, positifnya adalah benar bahwa pengobatan kusta yang dilakukan selama ini membuahkan hasil, tetapi sisi negatifnya adalah skrining yang kurang akibat lockdown yang mengakibatkan lebih sedikitnya kasus yang ditemukan.

    Pertanyaan terbesar adalah mengapa masyarakat kita masih memiliki stigma soal penyakit kusta ini kepada penderitanya? Dilihat dari sejarahnya, memang zaman dahulu penyakit kusta ini dianggap suatu aib dan hasil dari berbuat suatu kejahatan. Dan maju ke zaman sekarang, masyarakat mengira bahwa kusta adalah penyakit yang sangat mudah menular dan harus dihindari. Padahal jelas, bahwa kasus penularan kusta berdasarkan kontak sangatlah sedikit karena untuk tertular seseorang haruslah berkontak erat lebih dari 20 jam dalam seminggu secara intens dan bukan dengan sekali sentuhan, lebih lagi penularan kusta ini adalah lewat saluran pernafasan, dan ya, kusta, dapat disembuhkan. Maka dari Dr. Febrina Sugianto dan Bapak Eman Suherman, Ssos beserta rekannya selalu mengutamakan sosialisasi dan peran dari semua pihak untuk menjangkau masyarakat yang menderita kusta dengan lebih luas dan menghapuskan diskriminasi serta menyatakan dukungan dan merangkul, mulai dari penderita maupun masyarakat di sekitar penderita. Dan apa yang sangat diapresiasi adalah peran PT DAHANA yang tahun 2021 ini menargetkan pemberian paket bantuan usaha lewat fasilitas dan pemberian dana bergilir agar penderita memiliki kemandirian soal pekerjaan.  

    Untuk meningkatkan partisipasi, tidak hanya skrining yang harus dilakukan, tetapi meningkatkan kesadaran masyarakat itu sendiri agar orang mengerti kusta secara dalam dan menurunkan bahwa menghapuskan stigma yang mengikat kutsa karena ketika stigma itu sendiri rendah, maka akan banyak kasus yang akan terdeteksi dan semakin berkurangnya potensi penderita kusta mengalami disabilitas. Untuk membantu menjalankan dan mengimplementasikan program-program terkait penyakit kusta ini, maka informasi soal kusta itu sendiri haruslah disebarkan kepada masyarakat luas. Maka dari itu, KBR bekerja sama dengan 1 Minggu 1 Cerita sepakat untuk Bahu Membahu menuju Indonesia Sehat dan Bebas Kusta dengan menyebarluaskan informasi yang meningkatkan kesadaran masyarakat serta menghapus stigma dan diskriminasi yang menimpa para penderita.


    


    Dianggap tidak layak dipromosikan jabatannya karena dirinya seorang perempuan. Dianggap tidak layak bekerja karena perempuan harusnya “dinafkahi” dan bukan “menafkahi”. Dianggap “selalu melayani” adalah tugas perempuan yang sudah menikah kepada suaminya.  Dianggap menyia-nyiakan waktu karena menempuh pendidikan tinggi yang “tidak berguna”. Dianggap layak dinikahi jika seorang perempuan benar-benar masih perawan. Atau, dianggap pantas diperlakukan baik hanya jika ia cantik.

    Keraguan erat kaitannya dengan kesempatan dan pilihan yang ada di sekeliling perempuan. Kesempatan yang harusnya dapat dipegang, hilang begitu saja ditepis angin anggapan. Anggapan penuh keraguan soal kemampuan dan masa depan dari seorang perempuan yang memilih untuk memegang kesempatan yang datang. Dimulai dari diragukannya sebuah pilihan, terjerumus lingkungan dengan nafsu patriarki, sampai-sampai pertaruhan soal potensi yang dimiliki.

    Rintangan yang dihadapi perempuan bahkan kadang berasal dari dalam diri sendiri. Ambisi perempuan seringkali disalah maknai oleh lingkungannya. Hal ini membuatnya takut dengan lubang kegagalan, tetapi juga was-was ketika mencapai awan-awan keberhasilan. Posisi atau tempat yang harusnya menjunjung kesetaraan, juga kadang mengesampingkan perempuan karena stereotip-stereotip yang berkeliaran.

    Lalu, mengapa harus terjadi pengkotakan padahal perempuan juga manusia seutuhnya? Mengapa mencapai kesetaraan dianggap melawan hukum alam? Mengapa orang lupa caranya menjadi manusia normal? Dan, mengapa zaman sekarang bukan hanya sampah plastik yang banyak bertebaran, tetapi juga sampah-sampah pikiran banyak berkeliaran?

    Cobalah sadari bahwa batasan atas kesempatan dan pilihan bukanlah apa yang diinginkan perempuan. Juga, “menginjak-nginjak” derajat “sebelah” bukanlah apa yang dikejar dari kesetaraan karena perempuan bukanlah Titan.

Mari kita membuka pikiran dan saling menguatkan, menguatkan perempuan, karena kesetaraan dan kemajuan perempuan (harusnya) bukanlah mimpi-mimpi tak berkeadilan. 


Bicara soal achievement  atau pencapaian, seringkali ia memantik semangat dan motivasi kita. Namun, daftar tak berujung dari sebuah pencapaian yang ada di dunia ini, kadang menjebak kita untuk seolah harus mencapai semuanya dengan secepatnya. Standar pencapaian bagi seorang manusia di mata masyarakat (seringkali) adalah diterima di universitas top, lulus cumlaude, pekerjaan keren gaji fantastis, tubuh yang ideal, menang suatu perlombaan besar, menjadi PNS, menikah dan memiliki keturunan and if you know you know. Juga, terkadang semakin muda kita meraih suatu hal, semakin hebat kita di mata masyarakat. Well, bagus ya? Terlihat seperti suatu kesempurnaan jika ada orang yang mencapai semua standar itu.

Honestly, aku sendiri terkadang resah akan hal-hal ini, merasa kurang pencapaian dan merasa apa yang aku usahain selama ini kurang “keras” karena belum keliatan hasil “nyata”nya. Untukku yang seorang maba juga rasa “duh parah ketinggalan banget aku sih, gapaham-paham sama materinya.” sering muncul. Bahkan di awal ketika pembelajaran berlangsung tapi aku gapaham, langsung ilang semangatnya, apalagi ditambah culture shock peralihan dari SMA ke kuliah. Juga, waktu ada rekrutmen organisasi, UKM, dan semacamnya yang membiusku untuk ingin join semuanya karena pernah ndenger, “luasin relasi, ikutin banyak organisasi kalo di kuliah mah.”

Cukup bingung dan merasa hilang arah untuk sesaat memang, karena dalam hati seperti ingin dapet validasi dari orang lain dan memiliki achievement mindset. Lalu, karena orangnya kalo mikir lama, aku punya waktu cukup untuk nentuin dan mastiin lagi keputusan apa yang ingin aku ambil. Akhirnya, setelah cukup waktu, hal ini membawaku buat fokus sama diri sendiri untuk waktu singkat beberapa bulan ke depan saat itu. Untuk akademik karena merasa cukup tertinggal dan gapaham dengan mudah, aku beranikan diri buat tanya teman dan diskusi materi bareng yang ternyata bener-bener ngaruh, yang semula ngang ngong, kali ini mendingan karena akhirnya bisa ngikutin alur pembelajaran yang ada di kelas. Untuk organisasi di luar kampus, biasanya kita milih kan divisi apa yang mau dimasukin, dan ya aku memilih divisi yang menurutku aku gaakan jadi beban di dalamnya dan merasa bisa menangani hal tersebut. Then, dari beberapa organisasi yang aku daftarin, pertanyaan yang sering muncul waktu wawancara adalah “Kalau nanti kamu dipindah di divisi lain, mau atau nggak?” Karena ga persiapan dengan pertanyaan semacam itu, ya dipikiran kalau pindah divisi, iya kalo cocok, kalo nggak? Iya kalo aku mampu njalaninnya, kalo nggak? Tapi, kalo aku gamau, nanti aku ga diterima, organisasi less dong? Nanti ketinggalan soal pengalaman berorganisasi sama teman-teman yang lain dong? Dengan sedikit gemeter, mikir mateng sebentar, dan dalam hati, akhirnya berani buat bilang bahwa aku ga bersedia dan tidak diterima juga tidak apa-apa daripada harus pindah divisi. Ya, walau habis wawancara sempet mikir, “padahal harusnya kalo aku bilang mau, kan tetep bisa tuh adaptasi sama divisinya, coba-coba dulu gitu.”

Achievement, mungkin aku ga punya banyak darinya, mungkin aku juga masih bingung sebenernya aku ini pengennya apa dan mau ngapain. Ditambah terkadang di timeline sosial media terpampang soal lulus cepet atau IPK Cumlaude lah, organisasi lebih penting daripada akademik lah, masih maba manfaatin waktu yang bener lah, atau mempertanyakan soal lulus kuliah kalo gaada pengalaman gimana bahkan sampe tujuan kuliah itu sendiri.  Lewat beberapa momen di beberapa bulan terakhir ini, aku menjadi cukup sadar. Pencapaian, ia adalah suatu yang ada di setiap sudut mata memandang. Bahkan untuk mencapainya, lembur, ga tidur, belajar belajar belajar, kerja kerja kerja, goals yang ga realistis, kelelahan, tipes, sampai terganggunya kesehatan mental menjadi hal yang “wajar” karena ia bagian dari “kerja keras”. Paling sering muncul, “kuliah, kuliah, tipes”.

Gini, melihat-lihat hal tersebut, satu hal yang ingin aku garis bawahi. Ide dari achievement atau pencapaian zaman sekarang itu udah geser dari ranah pribadi jadi ke ranah publik, dimana apa yang masyarakat sebut pencapaian, itulah yang harus kita ambil untuk mendeskripsikan pencapaian untuk diri sendiri, dan membandingkan atau comparison adalah kunci yang gambarin achievement, juga keberadaan mindset pasti ada pihak yang lebih dari pihak lainnya dalam hal ini. Setiap hari, terus menerus, hal ini ada di sekeliling kita entah itu dunia nyata maupun maya. Merasa cukup dan bahagia atas suatu pencapaian,  malah di-salty-in karena katanya “gitu doang”, merasa keputusan inilah yang sesuai dengan tujuan, dikira "dih, ga liat apa itu kesempatan". Mencapai kebahagiaan diri, memutuskan hal apa yang akan mencukupi kebutuhan diri, mendefinisikan tujuan dalam setiap keputusan, serta menjalani hidup dengan berpijak di jalan yang sesuai nilai-nilai yang dipegang, sekarang bukan lagi hal yang berasal dari dan untuk diri sendiri, tetapi harus dibanding-bandingkan dulu bagaimana bagusnya di mata masyarakat kita. Quite toxic, rite? Literally, it seems like a trap to our mindset. For me, we all have to break this chain of achievement trap and get ourselves to describe what achievement is and not compare it to everyone else and then we might feel less. We, should be proud and happy because and for ourselves. We must destroy this toxic societal culture for ourselves and others around us. 




Banyak orang yang seringkali disebut sebagai seorang motivator dalam saluran Youtube, tulisan, ataupun kutipan kata-kata mutiara mereka secara eksplisit menyuruh pembaca atau penontonnya untuk berpikir positif. Juga buku-buku soal pengembangan diri acak kali bilang untuk mikirin hal-hal positif aja entah untuk sesuatu yang belum terjadi ataupun yang udah terjadi. Paling sering aku liat itu ya kata “Stay Positive” sama “Think Positively”. Karena hal-hal semacam ini banyak orang yang berpikir bahwa kunci keberhasilan atau kesuksesan itu ya berpikir positif dan selalu optimis. Kalau kaya gini, sistem berpikir positif terdengar seperti gerakan yang mempromosikan bahwa seorang manusia perlu untuk selalu tersenyum dengan gigi yang tampak, berkomitmen optimis dengan tak tergoyahkan, dan menyangkal hal-hal negatif yang bisa saja terjadi di luar ekspetasi, hal ini terdapat dalam artikel The Downside to Our Upside:The Problem with Positive Thinking.

Termuat di dalam The New York Times dengan judul The Problem With Positive Thinking, ada satu percobaan yang melibatkan perempuan yang tengah melakukan program penurunan berat badan. Mereka disuruh bayangin skenario ke depannya kaya gimana tentang hasil program yang mereka jalani itu. Setahun setelahnya, hasil dari percobaan ini cukup ngagetin, semakin positif perempuan tersebut saat membayangkan diri mereka dalam skenario penurunan berat badan, semakin sedikit berat badan mereka yang hilang. Ada percakapan cukup unik di Psychology Today dengan judul yang sama, yaitu The Problem With Positive Thinking, menceritakan penulisnya yang bercakap dengan seorang perempuan yang sedang belajar tentang pentingnya berpikir positif dengan membaca buku pengembangan diri. Ketika penulis bertanya apakah ia (perempuan tersebut) menemukan nasihat yang berguna di dalamnya, ia menjawab “Tidak juga.”

Salah satu yang ngebuat aku pengen nulis soal ini adalah dampak negatif berpikir positif, tetapi tidak dengan judul The Problem With Positive Thinking karena judul itu udah banyak banget bertebaran. Berpikir positif dalam konteks masa depan atau hal-hal yang akan terjadi memang menenangkan hati manusia, tetapi hal ini juga dapat menguras energi yang kita butuhkan untuk melangkah maju menuju masa depan itu sendiri. Ia juga seolah memanipulasi atau membodohi pikiran kita bahwa kita itu udah  mencapai masa depan dambaan kita tersebut. Dengan banyaknya pernyataan yang tersampaikan kepada kita soal keburukan berpikir negatif entah itu tentang diri sendiri, dunia, atau bahkan masa depan yang akan membuat kita mengalami kecemasan serta depresi dan daripada begitu lebih baik kita berpikir positif dan lebih optimis, membuat kita terkadang mengambil keputusan dan tindakan tidak realistis. Bayangin apa-apa bakal mulus kaya jalan tol yang ga macet, bisa ngebuat kita justru lebih merasa depresi dan tertekan atas kekecewaan yang bisa terjadi. Ya, kalo mulus, tetapi gimana kalo yang terjadi di luar prediksi? Gimana kalo segala sesuatu jalannya gak baik-baik aja?

Popularitas gerakan berpikir positif juga secara ga sadar ada kaitannya dengan kesadaran terhadap kesehatan mental. Dengan nantinya banyak orang yang berpikir bahwa apapun itu ya positif-in aja, akan membuat mereka yang ga merasa hal atau kejadian yang atau akan menimpanya ada kepositifan yang bisa diambil, merasa malu atas kecemasan, depresi dan perasaan negatif yang ia alami. Pun, cara berpikir positif itu ga one-size-fits-all.

Apa kalo dengan gini bearti kita ga boleh berpikir positif dan melulu harus negatif? Mari kita baca ini dulu. Dalam Forbes dengan judul How Positive Thinking Creates More ProblemsThan It Solves (kali ini judulnya ga sama) menceritakan soal alasan beberapa pebisnis tersandung masalah, yaitu bukan karena fakta mereka memiliki pikiran negatif, tetapi karena mereka tersangkut pada pikiran negatif tersebut. Ya, bearti sampai sini simpulan dari pikiran positif ga selamanya positif itu bukan berpikir negatif doang, aneh juga kalau kata-kata “Stay Negative” muncul di lockscreen beberapa orang, atau kalau mau lebih kece, “Stay Negative like an Electron”.

Lalu ada gasih cara ngatasinnya supaya Positive-Negative Thinking Balance itu tercipta? Cara paling awalnya adalah dengan bayangin kenyataan-kenyataan dengan positif, tttapi .. ditambah dengan bayangan soal apa saja sih kira-kira rintangan atau hambatan yang sekiranya bakal dihadapi. Dengan begini, kita bisa tahu batasan berpikir positif saat pikiran positif itu ga rasional dan penuh delusi yang bisa ngebuat kita nantinya bermasalah. Cara lain yang lebih baik daripada sekedar optimis juga ada, yaitu penanaman Emotional Agility atau kalo pakai bahasa Indonesia, kelincahan emosi. Kita harus mampu menyadari dan menerima berbagai jenis perubahan dalam pikiran dan emosi, tanpa harus digulingkan olehnya. Dalam How Positive Thinking Creates More Problems Than It Solves, mengatakan beberapa cara agar berpikir negatif juga gajadi boomerang, yaitu Trap It (akui pikiran negatif dengan sadar oleh keberadaan hal-hal negatif yang bisa saja menimpa), Map It (carilah sumbernya dengan mengidentifikasi gejala terjadinya pikiran negatif itu), dan Zap It (mengingatkan bahwa bukan sebuah pikiran saja yang mengemudi, tetapi juga nilai-nilai dalam diri manusia). Tingkatkanlah akurasi keputusan yang kita ambil atau tindakan yang kita lakukan dengan mempertanyakan hal tersebut pada kedua sisinya dan mencoba untuk realistis, karena

Like so much in life, attaining goals requires a balanced and moderate approach, neither dwelling on the downsides nor a forced jumping for joy.

 



Some movie recommendations here ~~~

Dulu, aku ga sesuka sekarang soal matematika. Ya, apalagi waktu SMA yang males banget sama matematika. Malesnya bukan karena udah bisa terus just go on without learning gitu bukan, tapi ya karena gabisa. Singkat cerita, akhirnya mutusin buat nonton movie yang ada hubungannya dengan matematika, the reason is I wanna looking for a “sense” of math (and I fancy watching movies, though). Jadi, ini beberapa movie yang kutonton dan urutan movienya sesuai urutan nontonku (sepertinya).

    1. Gifted (2017)

Gifted adalah film pertama yang kutonton soal matematika di kelas 10 SMA. Aku nemu film ini karena Chris Evans yang main. Really, if my mind is good at remembering, I've watched this movie about 8 times and still counting. Tiap kali aku ngerasa bodoh sama matematika, aku langsung nonton ini, kadang bener-bener tanpa satupun aku lewati, kadang kucepetin. Filmnya yang ringan dan Mary yang imut (atau Chris Evans ya hehe) ngebuat film ini nyaman untuk diikutin. For some reason, this film makes difference , tiap habis nonton ini kepercayaan diriku soal matematika itu naik dan waktu ujian pun nilainya bagus, kebetulan banget kan. Gifted cocok dicoba untuk kalian yang suka film ringan karena film ini isinya cerita soal Mary, Frank pamannya, dan Neneknya yang ngerebutin hak asuh anak. Oh, ya, revolusiku nonton ini adalah 3 kali nonton ga pernah nangis, 2 kali nangis, dan sisanya nyesek.


2. The Imitation Game (2014)

Aku masukin film ini dalam list tontonan waktu itu karena aku kira filmnya mirip Hunger Games (ternyata engga) dan yang main Benedict Cumberbatch. Film ini nyeritain soal Enigma dan Alan Turing. Alan Turing dan teman-temannya yang gabisa nyatu sebagai tim buat nyelesein masalah ini sampe terjadi hal-hal tidak mengenakkan, tapi akhirnya .. watch it yourself hehe. Dan ya, ada masalah internal Alan Turing yang akhirnya terungkap. Film ini juga greget karena ada rasis gender sama salah satu mathematician perempuannya. Cerita soal semangat Alan Turing ini ngebuatku “It's okay to take a little longer to build a ‘solving machine’, but then, you can solve every problem in no time.” Ya, walau dalam film ini waktu itu sama dengan nyawa seseorang. Jadi, film ini cocok untuk kalian yang suka deg-degan.


3.            3. The Man Who Knew Infinity (2015)

Aku ga terlalu inget gimana dapet judul film ini waktu itu. Aku juga langsung aja nonton filmnya tanpa baca-baca ataupun cari tahu film ini sinopsisnya gimana. Cerita soal mathematician, S. Ramanujan asal India yang perjuangannya diabadikan dan dengan (bisa dibilang) mentor Prof. Hardy dari Inggris. Walau buatku film ini sedikit klise dengan ceritanya yang mudah ketebak, tetapi film ini ga melebih-lebihkan atau membuat ceritanya terlalu dramatis. Yang aku suka dari film ini adalah latar musiknya yang nyaman dan latar videonya yang indah. Buatku, film ini meninggalkan semangat Ramanujan itu sendiri yang bisa dieksekusi dengan cara berbeda untuk tiap orangnya.


4.             4. The Theory of Everything (2014)

Mungkin bisa dibilang film ini adalah film romance. Menceritakan Stephen Hawkins dan perjuangannya saat itu. Sakit yang tak terduga terjadi padanya dan hal ini membuat semangatnya turun. Namun, karena orang-orang di sekitarnya yang positif, terutama istrinya, dia terus melangkah dan good things happen. Hal yang aku suka dari film ini selain semangat yang disajikan adalah British accent-nya yang kental. Buat kalian yang suka ndenger orang ngomong pakai British accent dan film dengan bau-bau romance yang agak banyak, kalian bisa coba nonton ini.


5.              5. A Beautiful Mind (2001)

Film yang agak pusing dan bikin wow satu ini berasal dari kisah nyata juga. Seorang mathematician bernama John Nash jadi tokoh utamanya. Hal yang terjadi di kesehariannya karena consequences of his syndrome mewarnai film ini. Sama seperti The Theory of Everything, di sini dukungan dari istri John Nash sangat membantu dirinya dalam menghadapi masalahnya. Hal bagus dari cerita ini buatku adalah untuk penyemangat melawan sesuatu "penghambat" yang sangat terikat dengan diri sendiri dengan menyadari solusi yang memungkinkan, seperti yang John Nash lakukan.  In the end, he won the Nobel Prize.


6.              6. The Oxford Murders (2008)

I was just about to watch film bergenre misteri yang di dalamnya penuh matematika ini. waktu pusing nyelesein tugas yang akhirnya selese juga, aku nonton ini untuk refreshing. untuk kalian yang suka dengan Sherlock, film ini sepertinya bakal cocok. Cerita yang dibawain juga mbingungin dan setengah jam di awal berasa kosong karena gatau bagaimana ending film ini. Beberapa karakter di dalamnya juga ada yang buatku mikir "kenapa gitu amat sih". Ya, kalo kalian gampang bosen, film ini awalnya emang bosenin, tapi sampai ke akhir cerita cukup oke. Nebak-nebak gimana si "murder" atau akhir dari film ini yang akhirnya berujung salah nebak, mbuat aku sedikit fresh dan merasa lebih ok (karna tebakanku salah:D)

7.              7. Proof (2005)

Kesalahanku nonton ini waktu lagi emosi naik gegara capek meet yg akhirnya tambah naik dengerin percakapan yang ada di film ini. Satu jam awal film ini buatku ga penting-penting banget, jadi bisa dilewatin aja. Aku ga begitu dapet apa isi film ini dan kenapa film ini pantes ditonton, alur dan gambaran di film ini juga ga bagus buatku. Hm, so why did I put it here? Ya sayang banget memang, kalo penasaran dan banyak waktu luang bisa ditonton, kalau engga mending gausah disempetin, nonton yang lain aja.


Itu tadi film-film yang udah aku tonton dan semoga ada yang menarik hati kalian. Aslinya bukan rekomendasi, ya, tapi daftar film hehe karena beberapa kurang aku suka. Mungkin juga ada yang udah pernah nonton film-film di atas dan beda pandangan? Boleh komen ya, selamat berakhir pekan semuanya ^-^

 

 

 



Et, kenapa judulnya pake hangul? Tulisan ini adalah hasil dari nonton Hospital Playlist Season 2, yuuyeey para penonton hosplay. Yap, episode keenam, juga edisi selepas aku ujian tengah semester (UTS) untuk pertama kali. Selama di SMA, gaada yang namanya UTS dan ngeliat sekolah lain UTS itu jadi “eh, hahaha.” But, now i feel how it likes. Episode 6 terasa pas banget sama minggu ini. Jadi, tulisan ini bisa disebut curhatan dan semangat untuk diri sendiri ^^

Oke, what do I wanna talk about? Berbuat suatu kesalahan di hari-hari yang dijalani, bahkan saat hari untuk sebuah kegiatan besar hadir, cenderung ngebuat diri ngerasa kecewa. Mungkin kita udah nyiapin jiwa dan raga untuk hal itu, ngeluangin waktu, ngurangin jam tidur, dan hal-hal lainnya, tapi kok?? tetep gitu?? Ada aja kesalahan yang kita lakuin, ya, walau persiapan yang dilakuin mungkin ga se “mateng” itu. Terus, ada aja variabel penganggu yang tiba-tiba hadir ga pake salam. Atau mungkin, you’ve done well, tapi hasilnya gak maksimal akibat kesalahan teknis yang bukan dari diri sendiri. Bukan marah atau kecewa, lebih ke, “Huft, yah ..” yang gabisa dipisah alias, ya kecewa dan marah, gabungan keduanya tapi terpendam.

Take a deep breath, breathe out slowly, and relax. Mengingat kejadian yang ngebuat kita mikir kepanjangan dan stress, atau gausah diingat karna baru aja kejadian, alihkan aja. We are all human, rite? It is okay to show our emotions then cry till your room is filled with tears after “that” events. It is okay to make mistakes, di dunia banyak orang yang melakukan kesalahan dan merasa kecewa, everyone makes mistakes, so do they, the “great” person  we know on the internet or social media, so do you and I. Apalagi kesalahan di awal kegiatan yang “baru”, it’s fine. Kita harus mampu bangkit dari kesalahan itu, work smart, work hard, and be better everyday. Kita harus berkembang, belajar darinya, dan terus melangkah maju. Pengalaman tadi adalah sebuah pelajaran. Semua keringat dan tangis yang terjadi dan terjalani, sekarang senyumlah. Jangan lupa mengevaluasi diri, apa yang perlu dibenahi dan diperbaiki serta apa yang harus direncanakan. Tetaplah termotivasi saat berhadapan dengan hambatan-hambatan yang terduga dan yang tidak. Nanti, mungkin saat kita menceritakan kesalahan apa yang kita lakukan kepada orang lain, kita malah atau udah bisa untuk coba menertawakannya, dan merasa lega. Percaya bahwa we have a bright future ahead of us. Cheer up, we’ll be fine! At the end of the day, we are our superstar, we are still the superstar in our own life.

Whatever area that you get into, given that even if you're the best of the best, there is always chance of failure. Because, there is only one thing that makes a dream impossible to achieve: the fear of failure.

For me, be better and happier. 


    Cung, siapa di sini yang hobinya nonton film? Mungkin kalau bukan termasuk hobi, pasti banyak yang sering atau suka banget nonton. Beberapa minggu ini aku cukup banyak berkenalan dengan orang baru karena bagian dari kegiatan perkuliahan di luar akademik, maklum mahasiswa baru tidak luput dari yang namanya perkenalan. Em, banyak banget yang ketika memperkenalkan diri dan menyebutkan hobi yang dimiliki, mereka bilangnya menonton film. Film yang ditonton (dari cerita mereka) pun beragam, ada yang suka menonton film Indonesia, Korea, Jepang, Barat, atau Turki dan negara lainnya. Bagiku yang juga suka nonton film, jadi terbesit di pikiran, ada gasih kaitan film yang pernah atau sering kita tonton sama pola pikir penentuan kesan pertama (first impression) kita pada seseorang? Nah, kali ini itulah yang akan aku bahas <3

    Pertama, yang akan kita ulik itu first impression bias, apa itu? First impression bias adalah keterbatasan dalam pemrosesan informasi manusia yang menyebabkan kita melakukan pengamatan yang cepat dan tidak lengkap tentang orang lain berdasarkan informasi pertama yang kita dapatkan dan rasakan. Bias kesan pertama ini mengacu pada batasan pemrosesan informasi manusia di mana orang itu sangat dipengaruhi oleh informasi pertama yang mereka terima dan mereka juga akan mengevaluasi informasi berikutnya menurut informasi awal tadi. Singkatnya, informasi pertama yang diproses secara terbatas oleh seseorang akan berpengaruh di situasi berikutnya, itulah bias kesan pertama.

    Kesan pertama sendiri mendapat banyak perdebatan apakah ia benar-benar akurat atau tidak. Menurut Daniel Kahneman, penulis Thinking, Fast, and Slow, kesan pertama tidaklah sempurna dan memperbaiki kesan pertama ini sangat menantang. Hal itu terjadi karena kita sering menjadi mangsa Halo Effect. Alexander Todorox, peneliti di Universitas Princeton dan penulis Face Value, beranggapan bahwa begitu kita membentuk kesan pertama pada seseorang, kita cenderung tetap dengan hal tersebut dan memperlakukannya sebagai fakta. Alexander Todorox juga mengatakan bahwa masalahnya adalah penilaian tadi sepenuhnya subjektif dan dapat merugikan. Dicontohkan, saat kita mencoba mempekerjakan orang baru di posisi kepemimpinan, orang yang “terlihat” lebih kompeten, seperti mereka yang berkacamata, lebih mungkin dipekerjakan. Padahal, isyarat wajah yang diterjemahkan menjadi kompetensi seseorang mungkin tidak benar bagi orang yang berbeda. Tentu, hal ini memiliki efek berbahaya bagi perekrut kerja tadi, yaitu bisa saja ia menghambat keragaman dan kemajuan perusahaannya.

    Bias kesan pertama adalah penyebab utama sebagian besar kesalahan perekrutan. Aku tambahkan contoh lagi terkait hal yang terjadi saat prekrutan orang baru. Sebagai hasil dari fokus pada presentasi kandidat atas kinerja mereka, perusahaan sering mempekerjakan orang yang berkinerja buruk dan menghindari mempekerjakan orang dengan keterampilan presentasi yang lebih lemah, padahal memiliki kinerja terbaik. Dampak negatif ganda ini dirangkum di bawah ini.

    Di dalam Effects of Gender and Personality on First Impression, terdapat hasil studi dimana kebanyakan orang cenderung menganggap wajah yang tidak dikenal atau tidak familiar sebagai orang kurang dapat dipercaya. Dibandingkan dengan laki-laki, perempuan memberikan penilaian yang lebih positif untuk orang dengan wajah yang dapat dipercaya.

    Kedua, lalu apa kaitan bias kesan pertama atau first impression bias ini dengan film yang pernah atau sering kita tonton? Mungkin kita pakai contoh dari Chieko Iwashita dalam Roles of Films and Television Dramas in International Tourism: The Case of Japanese Tourists to the UK. Di sini dijelaskan bahwa film dan drama itu berpengaruh kepada kesan wisatawan mengenai negara yang menarik minat mereka untuk dikunjungi dan bagaimana perjalanan yang akan dilewati nantinya. Hal ini termasuk kesan terhadap orang-orang dari negara tersebut tentang bagaimana sikap mereka dalam memperlakukan wisatawan. Ia juga nyambung dengan pembahasan sebelumnya, yaitu kaitan wajah yang tidak dikenal atau tidak familiar dengan mudah atau tidaknya orang tersebut dapat dipercaya. Gini, misal aku belum pernah pergi ke negara X dan tertarik untuk mengulik tentang negara X karena aku ingin berkunjung ke negara itu. Aku coba deh nontoh salah satu film yang cukup menggambarkan bagaimana situasi negara tersebut, budayanya, dan orang-orangnya. Dari film ini banyak kemungkinan yang akan membuat terjadinya bias kesan pertamaku kepada negara X. Nah, dari situ juga, terbentuk dalam benakku gambaran-gambaran tentang kemungkinan apa saja yang bakal terjadi kalau aku mengunjungi negara tersebut. Mungkin aku bersikap lebih hati-hati dan tidak gampang percaya dengan orang-orang dari negara X atau mungkin aku menjadi excited karena orang-orang negara X terlihat sangat ramah terhadap wisatawan.  

    Ada juga penelitian yang menyebutkan tentang perubahan perilaku anak muda setelah menonton film. Apa itu? Dicontohkannya tentang anak muda yang menonton film tentang orang yang lebih tua dari stage umur mereka. Setelah menonton itu, mereka menunjukkan stereotip yang sama kepada orang yang lebih tua di kehidupan nyata mereka dengan yang ada di dalam film tadi. Sebaliknya, ada sebuah penelitian yang membagi beberapa orang menjadi 4 kelompok untuk menentukan pengaruh bias kesan pertama. Empat kelompok tersebut adalah teks dengan isyarat bias kesan pertama, multimedia dengan isyarat bias kesan pertama, teks tanpa isyarat bias, dan multimedia tanpa isyarat bias. Isyarat bias kesan pertama tadi dirancang dengan memberikan informasi yang tidak lengkap serta tidak menguntungkan bagi kepala departemen, tetapi kemudian mereka diberi informasi yang dimaksudkan untuk mendukung kinerja kepala departemen. Tugas mereka (empat kelompok tadi) adalah melakukan penilaian kinerja lima tahunan pada kepala departemen. Secara keseluruhan, hasil menunjukkan skor penilaian kelompok multimedia (penyampaian informasi contohnya dengan video) dengan isyarat bias tidak berbeda dengan kelompok multimedia tanpa isyarat bias. Bearti di sini, isyarat bias kesan pertama tidak mempengaruhi penilaian seseorang terhadap orang lain.

    First impression bias itu ada di dalam keseharian kita dan banyak kemungkinan hal tersebut terjadi pada kita. Dari film-film yang kita tonton, kita mendapat banyak wajah baru yang sebelumnya mungkin ga familiar di kita atau yang sebelumnya sudah familiar, tetapi berbeda dengan yang ada di sekitar kita. Dengan melihat banyak film, kita jadi memiliki banyak gambaran yang akan mempengaruhi first impression kita pada orang yang baru kita ajak berkenalan. Juga, mungkin ketika melihat wajah yang “mirip sama aktor/aktris” di film blabla kita jadi nganggep orang itu berkepribadian sama kaya karakter dalam film tadi. ”Oh, orang ini kok kaya yang ada di film X, ya, ooo, mungkin dia juga kaya begitu kali.” “Wo, wajahnya mirip banget sama karakter di film X.” Namun juga, dengan hal tersebut kita dapat melihat seseorang dari banyak perspektif yang ada yang tentu dapat bermanfaat untuk menambah wawasan kita. “Em, biodata yang dia ceritain kaya gitu, ya, oh mungkin itu hanya kulitnya saja” “Duh, kok keliatan cuek banget perkenalannya, oh gapapa mungkin karena memang baru kenalan pertama kali, kan.” Begitu deh contohnya. Kesimpulan yang ingin aku tarik adalah tayangan atau film yang kita tonton dapat menyebabkan hal positif (terkait first impression) bagi mereka yang mencoba atau mampu berada di sudut pandang orang lain.  Terima kasih semuanya sudah membaca sampai akhir, ga kerasa udah hampir 2 minggu blog ini ga update.

References

Chieko Iwashita (2008) Roles of Films and Television Dramas in International Tourism: The Case of Japanese Tourists to the UK, Journal of Travel & Tourism Marketing, 24:2-3, 139 151, DOI: 10.1080/10548400802092635

Eliminate First Impression Bias And Hire Right Candidate https://www.linkedin.com/business/talent/blog/talent-strategy/eliminate-first-impression-bias-and-hire-right-candidate

Graeff, Kathryn, "Seeing you from your point of view: perspective-taking and first impression accuracy" (2019). Masters Theses and Doctoral Dissertations.
https://scholar.utc.edu/theses/582

Kai H. Lim, Izak Benbasat, Lawrence M. Ward The Role of Multimedia in Changing First Impression Bias. Information Systems Research 11 (2) 115-136 https://doi.org/10.1287/isre.11.2.115.11776

Kubrak T. Impact of Films: Changes in Young People’s Attitudes after Watching a Movie. Behavioral Sciences. 2020; 10(5):86. https://doi.org/10.3390/bs10050086

Mattarozzi K, Todorov A, Marzocchi M, Vicari A, Russo PM (2015) Effects of Gender and Personality on First Impression. PLOS ONE 10(9): e0135529. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0135529

The First Impression Bias https://thedecisionlab.com/reference-guide/psychology/the-first-impression-bias/

 

3nq-sns


Tonight We Dine In Hell 300 GIFfrom Tonight We Dine In Hell GIFs

Sharing about the movie I've watched on this blog for the first time would open this review. I'm not gonna telling you bout the director or kind of stuff like that, but really on the point that I thought badly want to share with you.

This movie was released in 2006 and yeah, the cinematic, while it was monotonous but it was fine! Overall the movie, you will see the same filter, if you expect a good cinematic, hopefully, you'll think that again. But really! It's not boring from the beginning to the ending! Yea sounds like I'm into it, but yes, I'm into it hahaha.

Quality seems so clear in this 300 movie, as the title, 300 Spartans fight over 170.000 Persian less more. At first, Leonidas The King did not get permission from the respected people of Sparta, I forget their name. Leonidas hesitated then, fight, not, fight, not. He told it to his wife, Gorgo (reminded me of Cersei hehe). Gorgo said, “What should freeman do?” woo in the heart. Leonidas immediately jolted his heart.

Next to the battle that I'm so excited about. Blood mm it's .. plain sight ... If you kind of people who don't like seeing a lot of blood or violent stuff, I warn you. My heart races I feel most in this movie, its slow effects, really make me like I'm feeling the battle and pain. There are so many Persian tactics, one way or another. There's a titan, witches, immortals, elephants, rhino, aaa lot of kind weapon they use to fight over 300, yea, 300 Spartans. The confidence of Leonidas reminds of someone's words that there's no luck, no sudden thing, then why? It's because you, you ready for it, for its glory. During the fight, there's one scene with the slow effect that I wanted most to give it a back sound, AAA .. AA .. AAA .. AA, if you know Ragnarok, yea the “AA” sounds like it.

Begin to the ending, there's one scene that hmm I “oh, pls no” way, yes, when Leonidas kneels down. Why I feel this way is because I don't see if Leonidas wants to attack the king of Xerxes directly. Then, wow, Leonidas' weapon got Xerxes!

Of course with its ending of Leonidas, I'm .. ok with it. The impact of this warrior spirit finally made the dream of Leonidas come true. I recommend you to see this movie when you are not in your full energy and want to recharge to feel better and moved to fight for your own battle.

Thanks for you all reading till its ending, Happy Holiday! If you are so.

endless-sns


Untuk Lily merahku,

Ayah Ibumu bukanlah mereka yang menjadikanmu ada, bukan pula mereka yang mengatakan kebenarannya. Kau pun tahu soal ini, dari siapa yang kau temui kala itu, tujuh tahun berlalu. Bertemu dengan tubuh fanamu yang hampa tanpa kehendak pribadi membuat pertemuan itu hanya sekedar temu tanpa kata. Berhari-hari tak kucoba pikirkan tentangmu, tapi nyatanya ini tertulis. Saat aku ingin mengisi waktu dengan tempat kumenetap pasti, kudapati diriku ada dalam hangatmu. Perlahan kuharap kehendak pribadimu mulai ada, Lily.

Kini mereka membawaku pergi ke tempat yang tak kau ketahui. Jauh darimu lantas membuat kenangan kecil itu mendominasi. Senyum dan canda tawamu dulu, membuat kami hidup, Lily. Hanya saja perang ini memisahkan kita dari Ayah Ibumu. Kutakuti ia juga akan memisahkanku darimu.

Di taman tempat kau dirawat, hanya mengerti kata yang kutulislah harapan kecilku padamu, andai-andai kau dapat tersenyum padaku saat telah sampai. Ketahuilah bahwa kau tak sendiri dan ada aku yang akan menghabiskan waktunya bersamamu. Bersama, Lily.

Saudarimu,

Gen

Penghabisan waktu itu memang mereka lakukan bersama dalam ketenangan. Surat yang sampai saat perempuan muda beraga, tetapi pikiran dan perasaannya terputus dinyatakan telah tiada.  Surat harapan seorang saudari yang telah gugur, tak pernah dibaca Lily si rambut merah.  

Newer Posts Older Posts Home

Categories

  • Health 1
  • HoW? 3
  • Landing 4
  • Lintas 8
  • Movie 7
  • Storiette 5
  • Thoughts 12
  • Women 3

Popular Posts

  • ABOUT
  • Segala Hal Baik di Dunia
  • Itu bukan Pencapaian yang Belum Tercapai, ko!

Archive

  • ▼  2021 (18)
    • May 2021 (3)
    • Jun 2021 (2)
    • Jul 2021 (3)
    • Aug 2021 (2)
    • Sep 2021 (2)
    • Oct 2021 (2)
    • Nov 2021 (3)
    • Dec 2021 (1)
  • ►  2022 (15)
    • Jan 2022 (5)
    • Feb 2022 (5)
    • Mar 2022 (2)
    • May 2022 (1)
    • Jul 2022 (1)
    • Dec 2022 (1)
  • ►  2024 (1)
    • Nov 2024 (1)
Powered by Blogger

Member of

1minggu1cerita

Copyright © Stood and Stand. Designed by OddThemes