Pemuda dan Kebolehannya

    

pnk-sns

    Dua puluh? Dua puluh lima? Kala itu entah berapa tahun telah berlalu. Tak kuketahui pasti, tapi dia adalah seorang pemuda. Pemuda dengan rambut gundul dan wajah tanpa ekspresi. Kulitnya hitam kusam, seperti arang yang menjadikan ia punya pekerjaan. Mungkin mandi menjadi hal asing baginya atau mungkin terlalu membuang waktu? Siang malam ia berjibaku membuat arang. Ya .. maklum, Idul Adha sebentar lagi datang. Semangatnya tak perlu ditanyakan lagi, lihat saja penampilannya. Saat inilah, kantong yang sebelumnya terisi angin kini berharap aliran cuan. “Apa kau saat ini bahagia?” tanyaku pada pemuda itu. “Tentu saja! Kau tak lihat wajah ini?” jawabnya. Padahal bila aku boleh bersuara, akan kutanyakan pada orang lain, “Wajah ‘itu’, apa menurutmu menggambarkan sesuatu?”


         

“Kau! Iya kau, Yak! Kesinilah.”

    Apa yang ia dapatkan tak diekspetasikan berlebih sebelumnya. Dihabiskan? Ditabung? Atau dibuat apa? Ia hanya menjalani hari yang ia punya, bedanya, isi kantong kini bisa ditimbang. Seperti yang lain, terbelit kondisi juga terjadi pada dirinya. Tak ada nasi untuk disarap, tak ada uang untuk beli nasi, kini ia harus menunggu lagi. Kutanyakan pertanyaan yang sama, “Apa kau saat ini bahagia?” Ia menjawab, “Apa kau pikir penampilanku begini karna kumalas mandi? Tidak, aku merasa bahagia.” Ia diam sejenak, “Merasakan hari-hari yang telah terlewati dengan ‘begini’ (sambil memperlihatkan dirinya) membuatku seperti itu.”

         


“Oyak, sekarang engkau bisa santai, yak! Eh, ini mau dikirim kemana? Nak beli masih ada tidak, yak?”  

“Tempat biasa, bang. Sana, masuk dan belilah berapa banyak yang kau mau.”

“Duh, bentar, dari dulu tak berubah kau, yak! Wajahmu ini, boleh tunjukkan rasa ‘kebahagiaan’, yak! Senyum begitu, to?”

“Dari dulu sudah seperti itu, bang”

“Lah iya, datar saja sudah dari kau lahir ya, yak!” “Mana, itu? Siapa .. calonmu? Orang sini-sinikah, yak?”

“Setengah benar, bang. Ia dulu tinggal disini, tapi, lalu pergi nan jauh entah kemana. Habis itu, ternyata balik lagi sih, bang.”

“Huaduh, teman pas muda ceritanya ya, yak! Sudah, tak beli dulu ya, yak.”



    ‘Dari dulu’-nya pemuda yang kini berkepala empat, bukanlah merujuk pada ekspresi. Ia hanya ingin bilang, bahwa tak hanya diperbolehkan sekarang, dulupun ia telah merasa. “Bolehkah aku juga merasa bahagia? Walau kau belum sepenuhnya terikat padaku?” tanya seorang perempuan. “Kau boleh, kapanpun kau mau. Sepenuhnya ada pada keputusanmu. Akupun boleh, sepenuhnya ada pada keputusanku.”

    Jika aku bisa tersenyum, mungkin ia yang akan mengekpresikannya. Biarpun kutahu, itu hanya terukir di balik ekspresi dan wajah yang tak berubah seolah dua dekade itu terhenti dan tak berlalu. Ya .. walau kini kepalanya terisi rambut.

0 comments