Sisi Gelap Berpikir Positif



Banyak orang yang seringkali disebut sebagai seorang motivator dalam saluran Youtube, tulisan, ataupun kutipan kata-kata mutiara mereka secara eksplisit menyuruh pembaca atau penontonnya untuk berpikir positif. Juga buku-buku soal pengembangan diri acak kali bilang untuk mikirin hal-hal positif aja entah untuk sesuatu yang belum terjadi ataupun yang udah terjadi. Paling sering aku liat itu ya kata “Stay Positive” sama “Think Positively”. Karena hal-hal semacam ini banyak orang yang berpikir bahwa kunci keberhasilan atau kesuksesan itu ya berpikir positif dan selalu optimis. Kalau kaya gini, sistem berpikir positif terdengar seperti gerakan yang mempromosikan bahwa seorang manusia perlu untuk selalu tersenyum dengan gigi yang tampak, berkomitmen optimis dengan tak tergoyahkan, dan menyangkal hal-hal negatif yang bisa saja terjadi di luar ekspetasi, hal ini terdapat dalam artikel The Downside to Our Upside:The Problem with Positive Thinking.

Termuat di dalam The New York Times dengan judul The Problem With Positive Thinking, ada satu percobaan yang melibatkan perempuan yang tengah melakukan program penurunan berat badan. Mereka disuruh bayangin skenario ke depannya kaya gimana tentang hasil program yang mereka jalani itu. Setahun setelahnya, hasil dari percobaan ini cukup ngagetin, semakin positif perempuan tersebut saat membayangkan diri mereka dalam skenario penurunan berat badan, semakin sedikit berat badan mereka yang hilang. Ada percakapan cukup unik di Psychology Today dengan judul yang sama, yaitu The Problem With Positive Thinking, menceritakan penulisnya yang bercakap dengan seorang perempuan yang sedang belajar tentang pentingnya berpikir positif dengan membaca buku pengembangan diri. Ketika penulis bertanya apakah ia (perempuan tersebut) menemukan nasihat yang berguna di dalamnya, ia menjawab “Tidak juga.”

Salah satu yang ngebuat aku pengen nulis soal ini adalah dampak negatif berpikir positif, tetapi tidak dengan judul The Problem With Positive Thinking karena judul itu udah banyak banget bertebaran. Berpikir positif dalam konteks masa depan atau hal-hal yang akan terjadi memang menenangkan hati manusia, tetapi hal ini juga dapat menguras energi yang kita butuhkan untuk melangkah maju menuju masa depan itu sendiri. Ia juga seolah memanipulasi atau membodohi pikiran kita bahwa kita itu udah  mencapai masa depan dambaan kita tersebut. Dengan banyaknya pernyataan yang tersampaikan kepada kita soal keburukan berpikir negatif entah itu tentang diri sendiri, dunia, atau bahkan masa depan yang akan membuat kita mengalami kecemasan serta depresi dan daripada begitu lebih baik kita berpikir positif dan lebih optimis, membuat kita terkadang mengambil keputusan dan tindakan tidak realistis. Bayangin apa-apa bakal mulus kaya jalan tol yang ga macet, bisa ngebuat kita justru lebih merasa depresi dan tertekan atas kekecewaan yang bisa terjadi. Ya, kalo mulus, tetapi gimana kalo yang terjadi di luar prediksi? Gimana kalo segala sesuatu jalannya gak baik-baik aja?

Popularitas gerakan berpikir positif juga secara ga sadar ada kaitannya dengan kesadaran terhadap kesehatan mental. Dengan nantinya banyak orang yang berpikir bahwa apapun itu ya positif-in aja, akan membuat mereka yang ga merasa hal atau kejadian yang atau akan menimpanya ada kepositifan yang bisa diambil, merasa malu atas kecemasan, depresi dan perasaan negatif yang ia alami. Pun, cara berpikir positif itu ga one-size-fits-all.

Apa kalo dengan gini bearti kita ga boleh berpikir positif dan melulu harus negatif? Mari kita baca ini dulu. Dalam Forbes dengan judul How Positive Thinking Creates More ProblemsThan It Solves (kali ini judulnya ga sama) menceritakan soal alasan beberapa pebisnis tersandung masalah, yaitu bukan karena fakta mereka memiliki pikiran negatif, tetapi karena mereka tersangkut pada pikiran negatif tersebut. Ya, bearti sampai sini simpulan dari pikiran positif ga selamanya positif itu bukan berpikir negatif doang, aneh juga kalau kata-kata “Stay Negative” muncul di lockscreen beberapa orang, atau kalau mau lebih kece, “Stay Negative like an Electron”.

Lalu ada gasih cara ngatasinnya supaya Positive-Negative Thinking Balance itu tercipta? Cara paling awalnya adalah dengan bayangin kenyataan-kenyataan dengan positif, tttapi .. ditambah dengan bayangan soal apa saja sih kira-kira rintangan atau hambatan yang sekiranya bakal dihadapi. Dengan begini, kita bisa tahu batasan berpikir positif saat pikiran positif itu ga rasional dan penuh delusi yang bisa ngebuat kita nantinya bermasalah. Cara lain yang lebih baik daripada sekedar optimis juga ada, yaitu penanaman Emotional Agility atau kalo pakai bahasa Indonesia, kelincahan emosi. Kita harus mampu menyadari dan menerima berbagai jenis perubahan dalam pikiran dan emosi, tanpa harus digulingkan olehnya. Dalam How Positive Thinking Creates More Problems Than It Solves, mengatakan beberapa cara agar berpikir negatif juga gajadi boomerang, yaitu Trap It (akui pikiran negatif dengan sadar oleh keberadaan hal-hal negatif yang bisa saja menimpa), Map It (carilah sumbernya dengan mengidentifikasi gejala terjadinya pikiran negatif itu), dan Zap It (mengingatkan bahwa bukan sebuah pikiran saja yang mengemudi, tetapi juga nilai-nilai dalam diri manusia). Tingkatkanlah akurasi keputusan yang kita ambil atau tindakan yang kita lakukan dengan mempertanyakan hal tersebut pada kedua sisinya dan mencoba untuk realistis, karena

Like so much in life, attaining goals requires a balanced and moderate approach, neither dwelling on the downsides nor a forced jumping for joy.

 

0 comments