Achievement Trap


Bicara soal achievement  atau pencapaian, seringkali ia memantik semangat dan motivasi kita. Namun, daftar tak berujung dari sebuah pencapaian yang ada di dunia ini, kadang menjebak kita untuk seolah harus mencapai semuanya dengan secepatnya. Standar pencapaian bagi seorang manusia di mata masyarakat (seringkali) adalah diterima di universitas top, lulus cumlaude, pekerjaan keren gaji fantastis, tubuh yang ideal, menang suatu perlombaan besar, menjadi PNS, menikah dan memiliki keturunan and if you know you know. Juga, terkadang semakin muda kita meraih suatu hal, semakin hebat kita di mata masyarakat. Well, bagus ya? Terlihat seperti suatu kesempurnaan jika ada orang yang mencapai semua standar itu.

Honestly, aku sendiri terkadang resah akan hal-hal ini, merasa kurang pencapaian dan merasa apa yang aku usahain selama ini kurang “keras” karena belum keliatan hasil “nyata”nya. Untukku yang seorang maba juga rasa “duh parah ketinggalan banget aku sih, gapaham-paham sama materinya.” sering muncul. Bahkan di awal ketika pembelajaran berlangsung tapi aku gapaham, langsung ilang semangatnya, apalagi ditambah culture shock peralihan dari SMA ke kuliah. Juga, waktu ada rekrutmen organisasi, UKM, dan semacamnya yang membiusku untuk ingin join semuanya karena pernah ndenger, “luasin relasi, ikutin banyak organisasi kalo di kuliah mah.”

Cukup bingung dan merasa hilang arah untuk sesaat memang, karena dalam hati seperti ingin dapet validasi dari orang lain dan memiliki achievement mindset. Lalu, karena orangnya kalo mikir lama, aku punya waktu cukup untuk nentuin dan mastiin lagi keputusan apa yang ingin aku ambil. Akhirnya, setelah cukup waktu, hal ini membawaku buat fokus sama diri sendiri untuk waktu singkat beberapa bulan ke depan saat itu. Untuk akademik karena merasa cukup tertinggal dan gapaham dengan mudah, aku beranikan diri buat tanya teman dan diskusi materi bareng yang ternyata bener-bener ngaruh, yang semula ngang ngong, kali ini mendingan karena akhirnya bisa ngikutin alur pembelajaran yang ada di kelas. Untuk organisasi di luar kampus, biasanya kita milih kan divisi apa yang mau dimasukin, dan ya aku memilih divisi yang menurutku aku gaakan jadi beban di dalamnya dan merasa bisa menangani hal tersebut. Then, dari beberapa organisasi yang aku daftarin, pertanyaan yang sering muncul waktu wawancara adalah “Kalau nanti kamu dipindah di divisi lain, mau atau nggak?” Karena ga persiapan dengan pertanyaan semacam itu, ya dipikiran kalau pindah divisi, iya kalo cocok, kalo nggak? Iya kalo aku mampu njalaninnya, kalo nggak? Tapi, kalo aku gamau, nanti aku ga diterima, organisasi less dong? Nanti ketinggalan soal pengalaman berorganisasi sama teman-teman yang lain dong? Dengan sedikit gemeter, mikir mateng sebentar, dan dalam hati, akhirnya berani buat bilang bahwa aku ga bersedia dan tidak diterima juga tidak apa-apa daripada harus pindah divisi. Ya, walau habis wawancara sempet mikir, “padahal harusnya kalo aku bilang mau, kan tetep bisa tuh adaptasi sama divisinya, coba-coba dulu gitu.

Achievement, mungkin aku ga punya banyak darinya, mungkin aku juga masih bingung sebenernya aku ini pengennya apa dan mau ngapain. Ditambah terkadang di timeline sosial media terpampang soal lulus cepet atau IPK Cumlaude lah, organisasi lebih penting daripada akademik lah, masih maba manfaatin waktu yang bener lah, atau mempertanyakan soal lulus kuliah kalo gaada pengalaman gimana bahkan sampe tujuan kuliah itu sendiri.  Lewat beberapa momen di beberapa bulan terakhir ini, aku menjadi cukup sadar. Pencapaian, ia adalah suatu yang ada di setiap sudut mata memandang. Bahkan untuk mencapainya, lembur, ga tidur, belajar belajar belajar, kerja kerja kerja, goals yang ga realistis, kelelahan, tipes, sampai terganggunya kesehatan mental menjadi hal yang “wajar” karena ia bagian dari “kerja keras”. Paling sering muncul, “kuliah, kuliah, tipes”.

Gini, melihat-lihat hal tersebut, satu hal yang ingin aku garis bawahi. Ide dari achievement atau pencapaian zaman sekarang itu udah geser dari ranah pribadi jadi ke ranah publik, dimana apa yang masyarakat sebut pencapaian, itulah yang harus kita ambil untuk mendeskripsikan pencapaian untuk diri sendiri, dan membandingkan atau comparison adalah kunci yang gambarin achievement, juga keberadaan mindset pasti ada pihak yang lebih dari pihak lainnya dalam hal ini. Setiap hari, terus menerus, hal ini ada di sekeliling kita entah itu dunia nyata maupun maya. Merasa cukup dan bahagia atas suatu pencapaian,  malah di-salty-in karena katanya “gitu doang”, merasa keputusan inilah yang sesuai dengan tujuan, dikira "dih, ga liat apa itu kesempatan". Mencapai kebahagiaan diri, memutuskan hal apa yang akan mencukupi kebutuhan diri, mendefinisikan tujuan dalam setiap keputusan, serta menjalani hidup dengan berpijak di jalan yang sesuai nilai-nilai yang dipegang, sekarang bukan lagi hal yang berasal dari dan untuk diri sendiri, tetapi harus dibanding-bandingkan dulu bagaimana bagusnya di mata masyarakat kita. Quite toxic, rite? Literally, it seems like a trap to our mindset. For me, we all have to break this chain of achievement trap and get ourselves to describe what achievement is and not compare it to everyone else and then we might feel less. We, should be proud and happy because and for ourselves. We must destroy this toxic societal culture for ourselves and others around us. 


0 comments