Soal Kusta dan Problematikanya di Indonesia

    Pada hari Jum’at tanggal 12 November kemarin, kita semua memperingati Hari Kesehatan Nasional atau HKN. Peringatan ini dapat menjadi momentum baik untuk kita semua dalam dalam mengingat pentingnya kesehatan. Pula, kita semua sadar bahwa kesehatan adalah sebuah hak dan pelayanan dasar yang harus dipenuhi negara kepada masyarakatnya. Pelayanan dasar inipun harus diselenggarakan secara berkeadilan dan tidak diskriminatif, sesuai dengan apa yang tercantum dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Jelas bahwa untuk setiap warga negara, dengan penyakit yang diderita ataupun disabilitas yang dimiliki, mempunyai hak sama untuk memperoleh pelayanan kesehatan dengan mutu yang baik.

    Namun, hal ini tidak begitu saja mulus jalannya, ada banyak tantangan dan keterbatasan sumber daya yang seringkali membuat pelayanan dasar belum dapat diakses. Beruntungnya, penyelenggaraan program layanan kesehatan yang inklusif terus diupayakan oleh banyak pihak, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), bahkan oleh badan-badan usaha melalui program CSR atau Corporate Social Responsibility yang juga berarti tanggung jawab sosial perusahaan.

    KBR atau Kantor Berita Radio dengan bekerja sama dengan komunitas 1 Minggu 1 Cerita pada hari Rabu tanggal 24 November 2021, mengadakan talkshow di Ruang Publik KBR bersama 2 narasumber, yaitu Bapak Eman Suherman, SSos. selaku Ketua TJSL PT DAHANA dan dr. Febrina Sugianto selaku Junior Technical Advisor di NLR Indonesia. Talkshow kali ini mempunyai topik, yaitu “Bahu Membahu untuk Indonesia Sehat dan Bebas Kusta”. Untuk lebih memahami kusta itu sendiri, mari kita mengerti apa itu kusta, bagaimana efeknya, sistem penularan, juga cara pengobatannya secara singkat.

    Dilansir dari laman Instagram NLR Indonesia, istilah kusta sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, Khusta, yang memiliki arti kumpulan gejala-gejala kulit. Kusta dalam bahasa Inggris disebut Lepra atau Hansen Diseases. Kuman yang menjadi penyebab kusta adalah Mycrobacterium Leprae yang diidentifikasi oleh Dr. Hansen (Norwegia) pada tahun 1873. Kusta termasuk penyakit tua yang dahulu dianggap sebagai kutukan, sehingga para penderitanya cenderung diasingkan dari lingkungan. Penyakit kusta menyerang bagian tubuh utamanya di antara saraf dan kulit. Bila penyakit ini tidak segera ditangani, ia akan sangat progresif dan dapat menyebabkan kerusakan pada kulit, sara, dan mata yang bisa berujung pada disabilitas. Penularan kusta terjadi karena beberapa hal, pertama bakteri kusta menular melalui saluran pernafasan, kedua kusta hanya akan menular jika terjadi kontak langsung secara berulang atau intens dengan pasien kusta yang belum berobat, dan yang ketiga kusta tidak akan menular jika hanya bersentuhan 1 atau 2 kali saja. Orang dengan diagnosis kusta biasanya akan diberikan kombinasi antibiotik MDT atau Multi Drugs Therapy dari dokter sebagai langkah pengobatan selama enam bulan sampai dua tahun.

    Dalam talkshow yang diadakan oleh KBR, masing-masing narasumber memaparkan kontribusi bersamanya dalam menangani masalah di kusta ini. Bapak Eman Suherman, SSos. selaku perwakilan dari PT DAHANA (Ketua TJSL) menyampaikan program-program apa saja yang PT DAHANA lakukan dalam mengatasi masalah kesehatan dan dalam komitmen CSR. PT DAHANA, sebut Bapak Eman, “Kami melakukan program-program sebagai implementasi dari perencanaan program berkelanjutan atau SDGs dengan fokusnya pada kebutuhan dasar hidup, salah satunya kesehatan.” Jelas Bapak Eman, beberapa tahun belakang, PT DAHANA mengadakan program pengobatan massal yang menyisir seluruh masyarakat di sekitar lingkungan PT DAHANA. Mulai tahun 2021 ini, PT DAHANA berfokus pada program penanggulangan penyakit kusta. Tepatnya dengan lingkungan terdekat dari PT DAHANA, yaitu Kecamatan Cibogo, Kabupaten Subang yang setiap tahunnya ada 1000 peserta. Selanjutnya dr. Febrina Sugianto sebagai Junior Technical Advisor NRL Indonesia, menjelaskan bahwa NRL di setiap kegiatannya selalu berfokus pada membagikan pengetahuan soal kusta dan bercita-cita menghapuskan stigma yang menimpa para penderita kusta. NRL mempunyai 4 proyek utama, yaitu SUKA ( Suara Untuk Indonesia Bebas Kusta), LEAP (Dukungan ekonomis Inklusif), PADI ( Dukungan kepada anak anak Disabilitas dan anak anak OYPMK (Orang yang Pernah Mengalami Kusta) yang telah mengalami Disabilitas), dan MIBM (Program pengembangan pengetahuan Hak Reproduksi Seksual) bagi anak anak dengan Disabilitas.  

    Selanjutnya, sesi bertanya pun dilaksanakan, penanya pertama menanyakan program yang dilakukan Indonesia secara umum untuk menangani kusta ini. Pemerintah sendiri sudah sangat serius dalam menangani penyakit kusta, alokasi dana yang diberikan juga setiap tahunnya meningkat. Apa yang diharapkan dalam Indonesia dapat mengeliminasi penyakit ini dan menuntaskannya agar tidak ada lagi penderita yang bertambah. Mengingat bahwa Indonesia menduduki rangking ketiga dari negara-negara paling endemis di dunia setelah India dan Brazil. Untuk pertanyaan selanjutnya, berkaitan dengan pengenalan gejala dari penyakit kusta. Dr. Febrina Sugianto menjelaskan, bahwa gejala yang paling mudah dikenali adalah adanya bercak keputih-putihan, terkadang juga berwarna merah dan tidak berasa rasa pada daerah tempat bercak tersebut ada (contohnya, tidak terasa gatal saat digaruk). Lalu, salah satu penanya juga menanyakan bagaimana melakukan sosialisasi terhadap penyintas. Terjawab bahwa fokus utama dari sosialisasi adalah keluarga, karena adanya penyintas maka kewaspadaan harus lebih tinggi dan kecurigaan juga harus lebih besar karena penyakit kusta tahap awal tidak mempengaruhi kerja tubuh dalam sehari-harinya.  

    Bahasan selanjutnya adalah bagaimana bila salah satu anggota keluarga atau penderita kusta mendapat pengobatan yang terlambat (berkaitan dengan tidak terpengaruhnya tubuh karena kusta tahap awal)? Hal yang terpenting adalah support, keluarga haruslah memberikan dukungan secara mental dan sebisa mungkin membangun suasana agar pasien tidak merasa dijauhi atau dikucilkan dan lebih bersemangat menjalani pengobatan. Terkait dengan hal ini pula, Bapak Eman Suherman, Ssos. membagikan cerita bahwa salah satu kendala dan tantangan soal mengetahui keberadaan penderita kusta dan tracing atau pelacakan adalah karena adanya pandemi Covid-19. Kemudian, Dr. Febrina Sugianto juga menambahkan bahwa saat pandemi kasus kusta ini menurun, tentu hal ini terdeskripsi dalam dua sisi, positifnya adalah benar bahwa pengobatan kusta yang dilakukan selama ini membuahkan hasil, tetapi sisi negatifnya adalah skrining yang kurang akibat lockdown yang mengakibatkan lebih sedikitnya kasus yang ditemukan.

    Pertanyaan terbesar adalah mengapa masyarakat kita masih memiliki stigma soal penyakit kusta ini kepada penderitanya? Dilihat dari sejarahnya, memang zaman dahulu penyakit kusta ini dianggap suatu aib dan hasil dari berbuat suatu kejahatan. Dan maju ke zaman sekarang, masyarakat mengira bahwa kusta adalah penyakit yang sangat mudah menular dan harus dihindari. Padahal jelas, bahwa kasus penularan kusta berdasarkan kontak sangatlah sedikit karena untuk tertular seseorang haruslah berkontak erat lebih dari 20 jam dalam seminggu secara intens dan bukan dengan sekali sentuhan, lebih lagi penularan kusta ini adalah lewat saluran pernafasan, dan ya, kusta, dapat disembuhkan. Maka dari Dr. Febrina Sugianto dan Bapak Eman Suherman, Ssos beserta rekannya selalu mengutamakan sosialisasi dan peran dari semua pihak untuk menjangkau masyarakat yang menderita kusta dengan lebih luas dan menghapuskan diskriminasi serta menyatakan dukungan dan merangkul, mulai dari penderita maupun masyarakat di sekitar penderita. Dan apa yang sangat diapresiasi adalah peran PT DAHANA yang tahun 2021 ini menargetkan pemberian paket bantuan usaha lewat fasilitas dan pemberian dana bergilir agar penderita memiliki kemandirian soal pekerjaan.  

    Untuk meningkatkan partisipasi, tidak hanya skrining yang harus dilakukan, tetapi meningkatkan kesadaran masyarakat itu sendiri agar orang mengerti kusta secara dalam dan menurunkan bahwa menghapuskan stigma yang mengikat kutsa karena ketika stigma itu sendiri rendah, maka akan banyak kasus yang akan terdeteksi dan semakin berkurangnya potensi penderita kusta mengalami disabilitas. Untuk membantu menjalankan dan mengimplementasikan program-program terkait penyakit kusta ini, maka informasi soal kusta itu sendiri haruslah disebarkan kepada masyarakat luas. Maka dari itu, KBR bekerja sama dengan 1 Minggu 1 Cerita sepakat untuk Bahu Membahu menuju Indonesia Sehat dan Bebas Kusta dengan menyebarluaskan informasi yang meningkatkan kesadaran masyarakat serta menghapus stigma dan diskriminasi yang menimpa para penderita.


2 comments

  1. semoga juga melalui tulisan kita bisa turut serta mengedukasi yaa kak :)
    thank you tulisannyaaaa

    ReplyDelete
  2. aamiin, terima kasih juga kak karna udah mampir ..

    ReplyDelete