Gamala

Berdiri di sini, di daerah ini, kulihat Gamal berada di setiap batas tepi. Tak kuketahui pasti siapa yang menanamnya di sana, tetapi ia telah ada semenjak pertama kali kumenyadari keberadaanku di bumi ini. Mereka bilang adanya Gamal membuat segala yang kujalani menjadi aman terkendali. “Aman terkendali, apakah makhluk di luar sana sebegitu ganasnya?”, pertanyaanku pada mereka. Jawaban yang dilontarkan kurasa tak menjawab pertanyaanku, “Memang kamu seharusnya di sini, bukan di luar sana.” Apakah Tuhan memberiku identitas tentang ‘seharusnya di sini’? Aneh.

Keinginanku untuk mencari tahu membawaku mencari celah di antara para Gamal itu. “Tak ada yang beda”, kataku dalam hati. Pun, aku tak menemukan sesuatu yang membuatku merasa ‘seharusnya di sana’. Berselang 10 menit, kurasa aku harus menarik perkataanku tadi, perang ada dimana-mana. Sungguh, tapi  apakah perang seperti ini hanya terjadi pada kaumku? Jantungku terasa sedang berlari di tempat, perkataan dan perbuatan itu, “Terbungkus sekali, harusnya dirimu kubungkus dengan hal lain, Mbak.”, tak tahu aku harus bagaimana. Kucoba untuk mengalihkan pandangan, justru kedua mata ini melihat perang lain. Di sini tak ada Gamal yang memberi batas tepi, tetapi kenapa semua seolah tak ada yang memberi kebebasan pasti?

Berlari, terus berlari ke dalam kawasan Gamal tempatku berasal. Semua melebarkan sudut matanya, amarah keluar dari masing-masing mereka. “Kau sudah kuberi tahu, tak seharusnya kau di sana.” Kenapa tak ada rasa khawatir yang diberikan padaku, kenapa justru omelan itu? “Apakah tak ada kebebasan untukku melakukan hal yang kumau?”, tanyaku. Mereka menjawab bahwa aku bebas melakukan apa yang kumau asal tak keluar dari batas Gamal itu, bahwa inilah ruang amanku. Aneh, sungguh mengekang.

Bukankah manusia harusnya memperlakukan manusia lain seperti ‘selayaknya manusia’? Bukankah tanpa Gamal pun, harusnya seluruh bumi tempat kaki dipijakkan ini adalah ruang aman bagi manusia, bagi kaumku, bagi perempuan? Konsep aneh, mengapa ruang aman harus membatasi dan mengekang. Harusnya ‘Gamal’ itu berada pada pilihanku, bukan standar yang mereka tetapkan sebagai ‘seharusnya’. Harusnya kesadaran memperlakukan ‘selayaknya manusia’ kokoh menetap pada diri semua manusia. Namun, apakah seharusnya aku mengganti nama menjadi ‘Gamala’? Agar batasan ruang aman tempatku melakukan hal yang kumau adalah pilihanku sendiri?


Tulisan ini juga termuat dalam virtual exhibition Aksara Bersuara Girl Up Universitas Gadjah Mada: Menciptakan Ruang Aman bagi Korban Kekerasan Seksual melalui Aksara

0 comments