Stood and Stand

by Citra Maharani

Stood and Stand
  • Home
  • Author
  • Portofolio

 


Pertama-tama, pernahkan kalian ngeliat meme-meme di bawah ini?

Photo by Lina on Tumblr

Photo on AhSeeIt

Atau meme-meme sejenisnya? Pernah juga kah kalian terkadang merasa relate dengan hal-hal "other girls vs me" yang akhirnya ngebawa pikiran buat mikir, "eh iya ya, gua ternyata gak kaya cewek kebanyakan."? 

Atau malah, dari kalian justru menghadapi kejadian-kejadian kaya di bawah ini?

💭 Selamat datang di masa dimana bisa baca maps = pick me girl pic.twitter.com/rWXwfQL3m9

— 💙 (@convomf) March 8, 2022

Masyarakat kita sekarang sepertinya seringkali memaknai suatu istilah secara gak tepat dan hasilnya jadi berdampak negatif terhadap orang lain. Well, yang pengen aku bahas di sini adalah soal "Pick Me Girl". Buat awalan, sebenernya apa sih definisi Pick Me Girl itu?

Seseorang yang "Pick Me" sendiri adalah mereka yang dengan sengaja menunjukkan perilaku-perilaku untuk menyenangkan orang di lain sisi dengan memperlihatkan bahwa mereka berbeda dari kebanyakan orang dari jenisnya sendiri dan entah sadar atau tidak mereka juga merendahkan orang yang tidak sesuai dengan tipe ideal mereka tadi. 

Kalau "Pick Me Girl" sendiri menurut Urban Dictionary adalah seorang perempuan, bukan hanya girl tetapi juga woman, yang berusaha keras untuk mengesankan orang di lain sisi, ya laki-laki, dan membuat mereka tidak tampak seperti perempuan kebanyakan, not like the other girls, yang terkadang juga sering disebut dengan internalized misogyny. 

Secara psikologis sendiri nih, mereka yang "Pick Me Girl" biasanya akan lebih membatasi dirinya sendiri saat membangun kepribadiannya dan terkadang tidak bisa memakai, menggenakan, atau melakukan sesuatu yang benar-benar mereka inginkan karena takut akan ditolak laki-laki dengan ucapan, "Ah, kaya cewek kebanyakan." Sehingga, standar hidup mereka ya akan dibatasi dan berpusat pada laki-laki, yap secara sadar atau enggak mereka menderita di bawah patriarki. Hal ini jugalah yang menuntun "Pick Me Girl" untuk memandang rendah sesama perempuan yang memperlihatkan perilaku seperti perempuan kebanyakan dan berbeda dari standar mereka. 

Nah, yang pengen aku bahas di sini sebenernya bukan definisi atau penjelasan "Pick Me Girl" itu secara dalam, tetapi bagaimana pengaruhnya terhadap kebebasan berekspresi seorang perempuan soal identitasnya. Balik lagi ke atas nih, soal twit yang "baca maps = pick me girl", miris banget gak sih ngeliatnya? 

Dengan viral atau maraknya istilah "Pick Me Girl" di sosial media, makin marak juga nih pemikiran-pemikiran yang melenceng dan merugikan. Maksudku adalah, misalnya hanya dengan adanya narasi bahwa "perempuan tuh gabisa baca maps", maka perempuan yang bisa baca maps dianggap "Pick Me Girl". Atau narasi yang bilang bahwa "perempuan itu makannya pelan dan dikit", lalu perempuan-perempuan lain yang emang dari sananya makan banyak dianggap "Pick Me Girl". Atau justru sebaliknya, perempuan yang dari dulu makannya emang banyak atau bisa hal-hal yang 'dianggap lakik' merasa gak yakin dan ragu akan hal-hal yang dilakukannya tadi, karena ya takut dianggap sebagai seorang "Pick Me Girl", lalu mulai mempertanyakan hal yang seharusnya gak dipertanyakan, misal, "Duh nambah porsi gak ya nih piring, laper banget tapi ntar .. ".

Terus nih, di satu sisi, ada seorang "Pick Me Girl" yang menganggap dirinya superior dan merendahkan perempuan lain karena dia gak seperti perempuan kebanyakan, di sisi lain perempuan yang "seperti perempuan kebanyakan" menganggap "Pick Me Girl" ini banyak settingan. Yap, perempuan yang harusnya saling support satu sama lain justru malah terpecah belah akibat narasi-narasi rancu di luar sana dan lupa sama "musuh yang sebenarnya". 

Juga, ada saat di mana kita sebagai perempuan nantinya akan ragu-ragu dalam mengekspresikan diri kita dan malah memilih standar yang terikat dengan patriarki. Akhirnya apa, sebagai perempuan kita makin gak bebas dalam bertindak, makin tidak tahu dan tidak mengerti tentang diri sendiri. 

Oleh karena itu yang terbaik yang bisa kita lakukan dan seharusnya lakukan adalah berani dan bangga menjadi diri sendiri, "This is me and I'm proud of me", selama kita gak merendahkan orang lain atau perempuan lain jika mereka berbeda dari standar ideal yang kita punya, gak ada salahnya bangga dan berani kepada diri sendiri. 

Kita bisa memilih untuk ignorant terhadap apa yang orang bilang kepada kita, misalnya "Ah, kaya cewe kebanyakan" atau "Ah, sok sok jadi Pick Me Girl, biar disukain laki-laki kan". Atau, juga bisa memilih untuk speak up dan saling mengedukasi bila kejadian-kejadian tidak mengenakkan seperti ini terjadi kepada diri kita sendiri atau perempuan lainnya di timeline sosial media atau kehidupan nyata kita secara langsung. 

Girl, You have your choices, You have your own identity.

It's okay to be a girl that likes 'basic' things and otherwise. 

As long as, that doesn't make you see down to the others. 


Photo by Imgflip

Beberapa video yang dapat ditonton:



Saat sedang akan membangun sebuah rumah atau ingin mengubah tatanan rumah yang dimiliki, seringkah muncul di benak kalian semua soal "membuat halaman rumput"? Memiliki halaman rumput yang indah dan cantik di depan rumah memang membuat nyaman mata memandang, tetapi pernahkan kalian terpikir nih soal sejarah di belakang pemikiran "halaman rumput" di depan rumah itu indah? 

Kalau kita menoleh ke belakang, ide membuat halaman rumput atau menumbuhkan rumput di depan hunian atau rumah pribadi ini lahir dari kastel-kastel kaum aristokrat (bangsawan) Perancis dan Inggris pada akhir Abad Pertengahan. Contoh gampangnya bisa dilihat misalnya saat kita menonton period film, seperti Emma, Little Women, Pride and Prejudice, Atonement, Sense and Sensibility, Bridgerton, dan lainnya, kita sering melihat halaman rumput yang terpampang luas di depan hunian para bangsawannya. 

Untuk memiliki sebuah atau beberapa halaman rumput yang terawat, tentu dibutuhkan lahan dan perawatan yang memerlukan banyak pekerja. Tentu aja, apalagi di saat-saat sebelum adanya penemuan soal mesin pemotong rumput dan alat siram otomatis. 

Nah, kalau dipikir-pikir lagi, apa ya manfaat dari halaman rumput ini? Bantuan kebahagiaan bagi para pemilik dengan melihat keindahannya? Untuk main sepak bola atau latihan upacara? Makan hewan ternak? atau mungkin ada yang berpikir untuk penghijauan?

Lahan rumput sebenernya gak menghasilkan sesuatu yang bernilai, ya contohnya gak mungkin halaman rumput yang dirawat dengan mengeluarkan biaya besar dijadiin tempat untuk hewan ternak yang justru akan merusaknya dan ya lahan yang luas hanya untuk halaman rumput, kalau rakyat biasa atau para petani pada waktu itu berpikir bahwa sebaiknya lahan yang berharga bisa ditanami sesuatu yang berharga pula. 

Halaman rumput yang cantik pada saat itu seolah nyebarin berita tegas nih, "Tuh gue kaya dan kuat kan, punya banyak tanah, punya banyak pekerja yang ngerawat halamannya HOHOHO," ya gitu deh ibaratnya. Tentu aja ini berlaku sebaliknya, kalau ada seorang bangsawan yang halaman rumputnya udah gak lagi terawat dan cantik, semua orang bakal tahu kalau dia sedang menghadapi kesulitan. 

Sampai saat ini pun, banyak istana, gedung-gedung pemerintah, dan tempat-tempat publik lainnya yang memiliki halaman rumput luas dan terkadang diberi tulisan "Menjauh dari Rumput" atau "Jangan Menginjak Rumput". Kalau kalian pernah nonton film The Man Who Knew Infinity yang latarnya di Trinity College Cambridge, bagi para mahasiswa biasa yang gak bergelar, mereka gak boleh motong jalan dengan melewati rumput dan harus lewat pinggirnya, lho. Ya, halaman rumput udah kaya simbol otoritas. 


Photo by Alamy on Google

Di dunia olahraga, halaman rumput juga ikut-ikutan nih. Dari ribuan tahun, manusia ya bermain olahraga di atas jenis tanah di tempat mereka tinggal, entah itu es atau gurun. Sampai pada dua abad terakhir ini, olahraga penting, seperti sepak bola dan tenis, dimainkan di halaman rumput. Di kampung mungkin kita juga sering melihat anak-anak bermain sepak bola di tanah yang gundul-gundul aja atau kalau kampungnya lebih maju, biasanya lapangan mereka ditumbuhi rumput-rumput. 

Ada juga nih, Museum Seni Islam yang dibangun di Qatar diapit halaman rumput mewah di tengah gurun Arabia yang tentunya membutuhkan perawatan ekstra untuk membuat rumputnya tetap terlihat segar dan hijau. 


Photo by Satellite on Google Maps 

Nah, dari sinilah, halaman rumput itu mulai digambarkan manusia sebagai gambaran status sosial, politik, dan kekayaan. Bahkan ketika revolusi industri meluaskan kaum menengah dan udah maraknya mesin pemotong rumput sama penyiram otomatis, mulai banyak orang yang bisa memiliki halaman rumputnya sendiri di depan hunian mereka. Halaman rumput yang cantik udah bukan lagi sebuah kemewahan orang kaya dan menjadi kebutuhan kelas menengah. 

Setelah menilik halaman rumput secara singkat, apa masih terbayang di benak kalian semua untuk memiliki hamparan rumput yang cantik dan luas di depan rumah? Tentu aja, tulisan kali ini bukan untuk membatasi keinginan-keinginan pembacanya dan semua orang bebas untuk melakukannya, memiliki halaman rumput. 

Namun, kita semua juga dibebaskan untuk melepas budaya yang diwariskan oleh orang-orang dulu dan membayangkan kreasi atau impian alternatif lainnya untuk hunian pribadi kita, misal kebun buah atau sayur pot yang lebih bermanfaat. Ya, dengan belajar sejarah halaman rumput, kita bisa memiliki sedikit kebebasan untuk memilih bagaimana kita menghias rumah, kan? 


Sumber bacaan : Homodeus - Yuval Noah Harari

Newer Posts Older Posts Home

Categories

  • Health 1
  • HoW? 3
  • Landing 4
  • Lintas 8
  • Movie 7
  • Storiette 5
  • Thoughts 12
  • Women 3

Popular Posts

  • ABOUT
  • Segala Hal Baik di Dunia
  • Itu bukan Pencapaian yang Belum Tercapai, ko!

Archive

  • ►  2021 (18)
    • May 2021 (3)
    • Jun 2021 (2)
    • Jul 2021 (3)
    • Aug 2021 (2)
    • Sep 2021 (2)
    • Oct 2021 (2)
    • Nov 2021 (3)
    • Dec 2021 (1)
  • ▼  2022 (15)
    • Jan 2022 (5)
    • Feb 2022 (5)
    • Mar 2022 (2)
    • May 2022 (1)
    • Jul 2022 (1)
    • Dec 2022 (1)
  • ►  2024 (1)
    • Nov 2024 (1)
Powered by Blogger

Member of

1minggu1cerita

Copyright © Stood and Stand. Designed by OddThemes