Stood and Stand

by Citra Maharani

Stood and Stand
  • Home
  • Author
  • Portofolio


Bicara soal achievement  atau pencapaian, seringkali ia memantik semangat dan motivasi kita. Namun, daftar tak berujung dari sebuah pencapaian yang ada di dunia ini, kadang menjebak kita untuk seolah harus mencapai semuanya dengan secepatnya. Standar pencapaian bagi seorang manusia di mata masyarakat (seringkali) adalah diterima di universitas top, lulus cumlaude, pekerjaan keren gaji fantastis, tubuh yang ideal, menang suatu perlombaan besar, menjadi PNS, menikah dan memiliki keturunan and if you know you know. Juga, terkadang semakin muda kita meraih suatu hal, semakin hebat kita di mata masyarakat. Well, bagus ya? Terlihat seperti suatu kesempurnaan jika ada orang yang mencapai semua standar itu.

Honestly, aku sendiri terkadang resah akan hal-hal ini, merasa kurang pencapaian dan merasa apa yang aku usahain selama ini kurang “keras” karena belum keliatan hasil “nyata”nya. Untukku yang seorang maba juga rasa “duh parah ketinggalan banget aku sih, gapaham-paham sama materinya.” sering muncul. Bahkan di awal ketika pembelajaran berlangsung tapi aku gapaham, langsung ilang semangatnya, apalagi ditambah culture shock peralihan dari SMA ke kuliah. Juga, waktu ada rekrutmen organisasi, UKM, dan semacamnya yang membiusku untuk ingin join semuanya karena pernah ndenger, “luasin relasi, ikutin banyak organisasi kalo di kuliah mah.”

Cukup bingung dan merasa hilang arah untuk sesaat memang, karena dalam hati seperti ingin dapet validasi dari orang lain dan memiliki achievement mindset. Lalu, karena orangnya kalo mikir lama, aku punya waktu cukup untuk nentuin dan mastiin lagi keputusan apa yang ingin aku ambil. Akhirnya, setelah cukup waktu, hal ini membawaku buat fokus sama diri sendiri untuk waktu singkat beberapa bulan ke depan saat itu. Untuk akademik karena merasa cukup tertinggal dan gapaham dengan mudah, aku beranikan diri buat tanya teman dan diskusi materi bareng yang ternyata bener-bener ngaruh, yang semula ngang ngong, kali ini mendingan karena akhirnya bisa ngikutin alur pembelajaran yang ada di kelas. Untuk organisasi di luar kampus, biasanya kita milih kan divisi apa yang mau dimasukin, dan ya aku memilih divisi yang menurutku aku gaakan jadi beban di dalamnya dan merasa bisa menangani hal tersebut. Then, dari beberapa organisasi yang aku daftarin, pertanyaan yang sering muncul waktu wawancara adalah “Kalau nanti kamu dipindah di divisi lain, mau atau nggak?” Karena ga persiapan dengan pertanyaan semacam itu, ya dipikiran kalau pindah divisi, iya kalo cocok, kalo nggak? Iya kalo aku mampu njalaninnya, kalo nggak? Tapi, kalo aku gamau, nanti aku ga diterima, organisasi less dong? Nanti ketinggalan soal pengalaman berorganisasi sama teman-teman yang lain dong? Dengan sedikit gemeter, mikir mateng sebentar, dan dalam hati, akhirnya berani buat bilang bahwa aku ga bersedia dan tidak diterima juga tidak apa-apa daripada harus pindah divisi. Ya, walau habis wawancara sempet mikir, “padahal harusnya kalo aku bilang mau, kan tetep bisa tuh adaptasi sama divisinya, coba-coba dulu gitu.”

Achievement, mungkin aku ga punya banyak darinya, mungkin aku juga masih bingung sebenernya aku ini pengennya apa dan mau ngapain. Ditambah terkadang di timeline sosial media terpampang soal lulus cepet atau IPK Cumlaude lah, organisasi lebih penting daripada akademik lah, masih maba manfaatin waktu yang bener lah, atau mempertanyakan soal lulus kuliah kalo gaada pengalaman gimana bahkan sampe tujuan kuliah itu sendiri.  Lewat beberapa momen di beberapa bulan terakhir ini, aku menjadi cukup sadar. Pencapaian, ia adalah suatu yang ada di setiap sudut mata memandang. Bahkan untuk mencapainya, lembur, ga tidur, belajar belajar belajar, kerja kerja kerja, goals yang ga realistis, kelelahan, tipes, sampai terganggunya kesehatan mental menjadi hal yang “wajar” karena ia bagian dari “kerja keras”. Paling sering muncul, “kuliah, kuliah, tipes”.

Gini, melihat-lihat hal tersebut, satu hal yang ingin aku garis bawahi. Ide dari achievement atau pencapaian zaman sekarang itu udah geser dari ranah pribadi jadi ke ranah publik, dimana apa yang masyarakat sebut pencapaian, itulah yang harus kita ambil untuk mendeskripsikan pencapaian untuk diri sendiri, dan membandingkan atau comparison adalah kunci yang gambarin achievement, juga keberadaan mindset pasti ada pihak yang lebih dari pihak lainnya dalam hal ini. Setiap hari, terus menerus, hal ini ada di sekeliling kita entah itu dunia nyata maupun maya. Merasa cukup dan bahagia atas suatu pencapaian,  malah di-salty-in karena katanya “gitu doang”, merasa keputusan inilah yang sesuai dengan tujuan, dikira "dih, ga liat apa itu kesempatan". Mencapai kebahagiaan diri, memutuskan hal apa yang akan mencukupi kebutuhan diri, mendefinisikan tujuan dalam setiap keputusan, serta menjalani hidup dengan berpijak di jalan yang sesuai nilai-nilai yang dipegang, sekarang bukan lagi hal yang berasal dari dan untuk diri sendiri, tetapi harus dibanding-bandingkan dulu bagaimana bagusnya di mata masyarakat kita. Quite toxic, rite? Literally, it seems like a trap to our mindset. For me, we all have to break this chain of achievement trap and get ourselves to describe what achievement is and not compare it to everyone else and then we might feel less. We, should be proud and happy because and for ourselves. We must destroy this toxic societal culture for ourselves and others around us. 




Banyak orang yang seringkali disebut sebagai seorang motivator dalam saluran Youtube, tulisan, ataupun kutipan kata-kata mutiara mereka secara eksplisit menyuruh pembaca atau penontonnya untuk berpikir positif. Juga buku-buku soal pengembangan diri acak kali bilang untuk mikirin hal-hal positif aja entah untuk sesuatu yang belum terjadi ataupun yang udah terjadi. Paling sering aku liat itu ya kata “Stay Positive” sama “Think Positively”. Karena hal-hal semacam ini banyak orang yang berpikir bahwa kunci keberhasilan atau kesuksesan itu ya berpikir positif dan selalu optimis. Kalau kaya gini, sistem berpikir positif terdengar seperti gerakan yang mempromosikan bahwa seorang manusia perlu untuk selalu tersenyum dengan gigi yang tampak, berkomitmen optimis dengan tak tergoyahkan, dan menyangkal hal-hal negatif yang bisa saja terjadi di luar ekspetasi, hal ini terdapat dalam artikel The Downside to Our Upside:The Problem with Positive Thinking.

Termuat di dalam The New York Times dengan judul The Problem With Positive Thinking, ada satu percobaan yang melibatkan perempuan yang tengah melakukan program penurunan berat badan. Mereka disuruh bayangin skenario ke depannya kaya gimana tentang hasil program yang mereka jalani itu. Setahun setelahnya, hasil dari percobaan ini cukup ngagetin, semakin positif perempuan tersebut saat membayangkan diri mereka dalam skenario penurunan berat badan, semakin sedikit berat badan mereka yang hilang. Ada percakapan cukup unik di Psychology Today dengan judul yang sama, yaitu The Problem With Positive Thinking, menceritakan penulisnya yang bercakap dengan seorang perempuan yang sedang belajar tentang pentingnya berpikir positif dengan membaca buku pengembangan diri. Ketika penulis bertanya apakah ia (perempuan tersebut) menemukan nasihat yang berguna di dalamnya, ia menjawab “Tidak juga.”

Salah satu yang ngebuat aku pengen nulis soal ini adalah dampak negatif berpikir positif, tetapi tidak dengan judul The Problem With Positive Thinking karena judul itu udah banyak banget bertebaran. Berpikir positif dalam konteks masa depan atau hal-hal yang akan terjadi memang menenangkan hati manusia, tetapi hal ini juga dapat menguras energi yang kita butuhkan untuk melangkah maju menuju masa depan itu sendiri. Ia juga seolah memanipulasi atau membodohi pikiran kita bahwa kita itu udah  mencapai masa depan dambaan kita tersebut. Dengan banyaknya pernyataan yang tersampaikan kepada kita soal keburukan berpikir negatif entah itu tentang diri sendiri, dunia, atau bahkan masa depan yang akan membuat kita mengalami kecemasan serta depresi dan daripada begitu lebih baik kita berpikir positif dan lebih optimis, membuat kita terkadang mengambil keputusan dan tindakan tidak realistis. Bayangin apa-apa bakal mulus kaya jalan tol yang ga macet, bisa ngebuat kita justru lebih merasa depresi dan tertekan atas kekecewaan yang bisa terjadi. Ya, kalo mulus, tetapi gimana kalo yang terjadi di luar prediksi? Gimana kalo segala sesuatu jalannya gak baik-baik aja?

Popularitas gerakan berpikir positif juga secara ga sadar ada kaitannya dengan kesadaran terhadap kesehatan mental. Dengan nantinya banyak orang yang berpikir bahwa apapun itu ya positif-in aja, akan membuat mereka yang ga merasa hal atau kejadian yang atau akan menimpanya ada kepositifan yang bisa diambil, merasa malu atas kecemasan, depresi dan perasaan negatif yang ia alami. Pun, cara berpikir positif itu ga one-size-fits-all.

Apa kalo dengan gini bearti kita ga boleh berpikir positif dan melulu harus negatif? Mari kita baca ini dulu. Dalam Forbes dengan judul How Positive Thinking Creates More ProblemsThan It Solves (kali ini judulnya ga sama) menceritakan soal alasan beberapa pebisnis tersandung masalah, yaitu bukan karena fakta mereka memiliki pikiran negatif, tetapi karena mereka tersangkut pada pikiran negatif tersebut. Ya, bearti sampai sini simpulan dari pikiran positif ga selamanya positif itu bukan berpikir negatif doang, aneh juga kalau kata-kata “Stay Negative” muncul di lockscreen beberapa orang, atau kalau mau lebih kece, “Stay Negative like an Electron”.

Lalu ada gasih cara ngatasinnya supaya Positive-Negative Thinking Balance itu tercipta? Cara paling awalnya adalah dengan bayangin kenyataan-kenyataan dengan positif, tttapi .. ditambah dengan bayangan soal apa saja sih kira-kira rintangan atau hambatan yang sekiranya bakal dihadapi. Dengan begini, kita bisa tahu batasan berpikir positif saat pikiran positif itu ga rasional dan penuh delusi yang bisa ngebuat kita nantinya bermasalah. Cara lain yang lebih baik daripada sekedar optimis juga ada, yaitu penanaman Emotional Agility atau kalo pakai bahasa Indonesia, kelincahan emosi. Kita harus mampu menyadari dan menerima berbagai jenis perubahan dalam pikiran dan emosi, tanpa harus digulingkan olehnya. Dalam How Positive Thinking Creates More Problems Than It Solves, mengatakan beberapa cara agar berpikir negatif juga gajadi boomerang, yaitu Trap It (akui pikiran negatif dengan sadar oleh keberadaan hal-hal negatif yang bisa saja menimpa), Map It (carilah sumbernya dengan mengidentifikasi gejala terjadinya pikiran negatif itu), dan Zap It (mengingatkan bahwa bukan sebuah pikiran saja yang mengemudi, tetapi juga nilai-nilai dalam diri manusia). Tingkatkanlah akurasi keputusan yang kita ambil atau tindakan yang kita lakukan dengan mempertanyakan hal tersebut pada kedua sisinya dan mencoba untuk realistis, karena

Like so much in life, attaining goals requires a balanced and moderate approach, neither dwelling on the downsides nor a forced jumping for joy.

 



Some movie recommendations here ~~~

Dulu, aku ga sesuka sekarang soal matematika. Ya, apalagi waktu SMA yang males banget sama matematika. Malesnya bukan karena udah bisa terus just go on without learning gitu bukan, tapi ya karena gabisa. Singkat cerita, akhirnya mutusin buat nonton movie yang ada hubungannya dengan matematika, the reason is I wanna looking for a “sense” of math (and I fancy watching movies, though). Jadi, ini beberapa movie yang kutonton dan urutan movienya sesuai urutan nontonku (sepertinya).

    1. Gifted (2017)

Gifted adalah film pertama yang kutonton soal matematika di kelas 10 SMA. Aku nemu film ini karena Chris Evans yang main. Really, if my mind is good at remembering, I've watched this movie about 8 times and still counting. Tiap kali aku ngerasa bodoh sama matematika, aku langsung nonton ini, kadang bener-bener tanpa satupun aku lewati, kadang kucepetin. Filmnya yang ringan dan Mary yang imut (atau Chris Evans ya hehe) ngebuat film ini nyaman untuk diikutin. For some reason, this film makes difference , tiap habis nonton ini kepercayaan diriku soal matematika itu naik dan waktu ujian pun nilainya bagus, kebetulan banget kan. Gifted cocok dicoba untuk kalian yang suka film ringan karena film ini isinya cerita soal Mary, Frank pamannya, dan Neneknya yang ngerebutin hak asuh anak. Oh, ya, revolusiku nonton ini adalah 3 kali nonton ga pernah nangis, 2 kali nangis, dan sisanya nyesek.


2. The Imitation Game (2014)

Aku masukin film ini dalam list tontonan waktu itu karena aku kira filmnya mirip Hunger Games (ternyata engga) dan yang main Benedict Cumberbatch. Film ini nyeritain soal Enigma dan Alan Turing. Alan Turing dan teman-temannya yang gabisa nyatu sebagai tim buat nyelesein masalah ini sampe terjadi hal-hal tidak mengenakkan, tapi akhirnya .. watch it yourself hehe. Dan ya, ada masalah internal Alan Turing yang akhirnya terungkap. Film ini juga greget karena ada rasis gender sama salah satu mathematician perempuannya. Cerita soal semangat Alan Turing ini ngebuatku “It's okay to take a little longer to build a ‘solving machine’, but then, you can solve every problem in no time.” Ya, walau dalam film ini waktu itu sama dengan nyawa seseorang. Jadi, film ini cocok untuk kalian yang suka deg-degan.


3.            3. The Man Who Knew Infinity (2015)

Aku ga terlalu inget gimana dapet judul film ini waktu itu. Aku juga langsung aja nonton filmnya tanpa baca-baca ataupun cari tahu film ini sinopsisnya gimana. Cerita soal mathematician, S. Ramanujan asal India yang perjuangannya diabadikan dan dengan (bisa dibilang) mentor Prof. Hardy dari Inggris. Walau buatku film ini sedikit klise dengan ceritanya yang mudah ketebak, tetapi film ini ga melebih-lebihkan atau membuat ceritanya terlalu dramatis. Yang aku suka dari film ini adalah latar musiknya yang nyaman dan latar videonya yang indah. Buatku, film ini meninggalkan semangat Ramanujan itu sendiri yang bisa dieksekusi dengan cara berbeda untuk tiap orangnya.


4.             4. The Theory of Everything (2014)

Mungkin bisa dibilang film ini adalah film romance. Menceritakan Stephen Hawkins dan perjuangannya saat itu. Sakit yang tak terduga terjadi padanya dan hal ini membuat semangatnya turun. Namun, karena orang-orang di sekitarnya yang positif, terutama istrinya, dia terus melangkah dan good things happen. Hal yang aku suka dari film ini selain semangat yang disajikan adalah British accent-nya yang kental. Buat kalian yang suka ndenger orang ngomong pakai British accent dan film dengan bau-bau romance yang agak banyak, kalian bisa coba nonton ini.


5.              5. A Beautiful Mind (2001)

Film yang agak pusing dan bikin wow satu ini berasal dari kisah nyata juga. Seorang mathematician bernama John Nash jadi tokoh utamanya. Hal yang terjadi di kesehariannya karena consequences of his syndrome mewarnai film ini. Sama seperti The Theory of Everything, di sini dukungan dari istri John Nash sangat membantu dirinya dalam menghadapi masalahnya. Hal bagus dari cerita ini buatku adalah untuk penyemangat melawan sesuatu "penghambat" yang sangat terikat dengan diri sendiri dengan menyadari solusi yang memungkinkan, seperti yang John Nash lakukan.  In the end, he won the Nobel Prize.


6.              6. The Oxford Murders (2008)

I was just about to watch film bergenre misteri yang di dalamnya penuh matematika ini. waktu pusing nyelesein tugas yang akhirnya selese juga, aku nonton ini untuk refreshing. untuk kalian yang suka dengan Sherlock, film ini sepertinya bakal cocok. Cerita yang dibawain juga mbingungin dan setengah jam di awal berasa kosong karena gatau bagaimana ending film ini. Beberapa karakter di dalamnya juga ada yang buatku mikir "kenapa gitu amat sih". Ya, kalo kalian gampang bosen, film ini awalnya emang bosenin, tapi sampai ke akhir cerita cukup oke. Nebak-nebak gimana si "murder" atau akhir dari film ini yang akhirnya berujung salah nebak, mbuat aku sedikit fresh dan merasa lebih ok (karna tebakanku salah:D)

7.              7. Proof (2005)

Kesalahanku nonton ini waktu lagi emosi naik gegara capek meet yg akhirnya tambah naik dengerin percakapan yang ada di film ini. Satu jam awal film ini buatku ga penting-penting banget, jadi bisa dilewatin aja. Aku ga begitu dapet apa isi film ini dan kenapa film ini pantes ditonton, alur dan gambaran di film ini juga ga bagus buatku. Hm, so why did I put it here? Ya sayang banget memang, kalo penasaran dan banyak waktu luang bisa ditonton, kalau engga mending gausah disempetin, nonton yang lain aja.


Itu tadi film-film yang udah aku tonton dan semoga ada yang menarik hati kalian. Aslinya bukan rekomendasi, ya, tapi daftar film hehe karena beberapa kurang aku suka. Mungkin juga ada yang udah pernah nonton film-film di atas dan beda pandangan? Boleh komen ya, selamat berakhir pekan semuanya ^-^

 

 

 



Et, kenapa judulnya pake hangul? Tulisan ini adalah hasil dari nonton Hospital Playlist Season 2, yuuyeey para penonton hosplay. Yap, episode keenam, juga edisi selepas aku ujian tengah semester (UTS) untuk pertama kali. Selama di SMA, gaada yang namanya UTS dan ngeliat sekolah lain UTS itu jadi “eh, hahaha.” But, now i feel how it likes. Episode 6 terasa pas banget sama minggu ini. Jadi, tulisan ini bisa disebut curhatan dan semangat untuk diri sendiri ^^

Oke, what do I wanna talk about? Berbuat suatu kesalahan di hari-hari yang dijalani, bahkan saat hari untuk sebuah kegiatan besar hadir, cenderung ngebuat diri ngerasa kecewa. Mungkin kita udah nyiapin jiwa dan raga untuk hal itu, ngeluangin waktu, ngurangin jam tidur, dan hal-hal lainnya, tapi kok?? tetep gitu?? Ada aja kesalahan yang kita lakuin, ya, walau persiapan yang dilakuin mungkin ga se “mateng” itu. Terus, ada aja variabel penganggu yang tiba-tiba hadir ga pake salam. Atau mungkin, you’ve done well, tapi hasilnya gak maksimal akibat kesalahan teknis yang bukan dari diri sendiri. Bukan marah atau kecewa, lebih ke, “Huft, yah ..” yang gabisa dipisah alias, ya kecewa dan marah, gabungan keduanya tapi terpendam.

Take a deep breath, breathe out slowly, and relax. Mengingat kejadian yang ngebuat kita mikir kepanjangan dan stress, atau gausah diingat karna baru aja kejadian, alihkan aja. We are all human, rite? It is okay to show our emotions then cry till your room is filled with tears after “that” events. It is okay to make mistakes, di dunia banyak orang yang melakukan kesalahan dan merasa kecewa, everyone makes mistakes, so do they, the “great” person  we know on the internet or social media, so do you and I. Apalagi kesalahan di awal kegiatan yang “baru”, it’s fine. Kita harus mampu bangkit dari kesalahan itu, work smart, work hard, and be better everyday. Kita harus berkembang, belajar darinya, dan terus melangkah maju. Pengalaman tadi adalah sebuah pelajaran. Semua keringat dan tangis yang terjadi dan terjalani, sekarang senyumlah. Jangan lupa mengevaluasi diri, apa yang perlu dibenahi dan diperbaiki serta apa yang harus direncanakan. Tetaplah termotivasi saat berhadapan dengan hambatan-hambatan yang terduga dan yang tidak. Nanti, mungkin saat kita menceritakan kesalahan apa yang kita lakukan kepada orang lain, kita malah atau udah bisa untuk coba menertawakannya, dan merasa lega. Percaya bahwa we have a bright future ahead of us. Cheer up, we’ll be fine! At the end of the day, we are our superstar, we are still the superstar in our own life.

Whatever area that you get into, given that even if you're the best of the best, there is always chance of failure. Because, there is only one thing that makes a dream impossible to achieve: the fear of failure.

For me, be better and happier. 


    Cung, siapa di sini yang hobinya nonton film? Mungkin kalau bukan termasuk hobi, pasti banyak yang sering atau suka banget nonton. Beberapa minggu ini aku cukup banyak berkenalan dengan orang baru karena bagian dari kegiatan perkuliahan di luar akademik, maklum mahasiswa baru tidak luput dari yang namanya perkenalan. Em, banyak banget yang ketika memperkenalkan diri dan menyebutkan hobi yang dimiliki, mereka bilangnya menonton film. Film yang ditonton (dari cerita mereka) pun beragam, ada yang suka menonton film Indonesia, Korea, Jepang, Barat, atau Turki dan negara lainnya. Bagiku yang juga suka nonton film, jadi terbesit di pikiran, ada gasih kaitan film yang pernah atau sering kita tonton sama pola pikir penentuan kesan pertama (first impression) kita pada seseorang? Nah, kali ini itulah yang akan aku bahas <3

    Pertama, yang akan kita ulik itu first impression bias, apa itu? First impression bias adalah keterbatasan dalam pemrosesan informasi manusia yang menyebabkan kita melakukan pengamatan yang cepat dan tidak lengkap tentang orang lain berdasarkan informasi pertama yang kita dapatkan dan rasakan. Bias kesan pertama ini mengacu pada batasan pemrosesan informasi manusia di mana orang itu sangat dipengaruhi oleh informasi pertama yang mereka terima dan mereka juga akan mengevaluasi informasi berikutnya menurut informasi awal tadi. Singkatnya, informasi pertama yang diproses secara terbatas oleh seseorang akan berpengaruh di situasi berikutnya, itulah bias kesan pertama.

    Kesan pertama sendiri mendapat banyak perdebatan apakah ia benar-benar akurat atau tidak. Menurut Daniel Kahneman, penulis Thinking, Fast, and Slow, kesan pertama tidaklah sempurna dan memperbaiki kesan pertama ini sangat menantang. Hal itu terjadi karena kita sering menjadi mangsa Halo Effect. Alexander Todorox, peneliti di Universitas Princeton dan penulis Face Value, beranggapan bahwa begitu kita membentuk kesan pertama pada seseorang, kita cenderung tetap dengan hal tersebut dan memperlakukannya sebagai fakta. Alexander Todorox juga mengatakan bahwa masalahnya adalah penilaian tadi sepenuhnya subjektif dan dapat merugikan. Dicontohkan, saat kita mencoba mempekerjakan orang baru di posisi kepemimpinan, orang yang “terlihat” lebih kompeten, seperti mereka yang berkacamata, lebih mungkin dipekerjakan. Padahal, isyarat wajah yang diterjemahkan menjadi kompetensi seseorang mungkin tidak benar bagi orang yang berbeda. Tentu, hal ini memiliki efek berbahaya bagi perekrut kerja tadi, yaitu bisa saja ia menghambat keragaman dan kemajuan perusahaannya.

    Bias kesan pertama adalah penyebab utama sebagian besar kesalahan perekrutan. Aku tambahkan contoh lagi terkait hal yang terjadi saat prekrutan orang baru. Sebagai hasil dari fokus pada presentasi kandidat atas kinerja mereka, perusahaan sering mempekerjakan orang yang berkinerja buruk dan menghindari mempekerjakan orang dengan keterampilan presentasi yang lebih lemah, padahal memiliki kinerja terbaik. Dampak negatif ganda ini dirangkum di bawah ini.

    Di dalam Effects of Gender and Personality on First Impression, terdapat hasil studi dimana kebanyakan orang cenderung menganggap wajah yang tidak dikenal atau tidak familiar sebagai orang kurang dapat dipercaya. Dibandingkan dengan laki-laki, perempuan memberikan penilaian yang lebih positif untuk orang dengan wajah yang dapat dipercaya.

    Kedua, lalu apa kaitan bias kesan pertama atau first impression bias ini dengan film yang pernah atau sering kita tonton? Mungkin kita pakai contoh dari Chieko Iwashita dalam Roles of Films and Television Dramas in International Tourism: The Case of Japanese Tourists to the UK. Di sini dijelaskan bahwa film dan drama itu berpengaruh kepada kesan wisatawan mengenai negara yang menarik minat mereka untuk dikunjungi dan bagaimana perjalanan yang akan dilewati nantinya. Hal ini termasuk kesan terhadap orang-orang dari negara tersebut tentang bagaimana sikap mereka dalam memperlakukan wisatawan. Ia juga nyambung dengan pembahasan sebelumnya, yaitu kaitan wajah yang tidak dikenal atau tidak familiar dengan mudah atau tidaknya orang tersebut dapat dipercaya. Gini, misal aku belum pernah pergi ke negara X dan tertarik untuk mengulik tentang negara X karena aku ingin berkunjung ke negara itu. Aku coba deh nontoh salah satu film yang cukup menggambarkan bagaimana situasi negara tersebut, budayanya, dan orang-orangnya. Dari film ini banyak kemungkinan yang akan membuat terjadinya bias kesan pertamaku kepada negara X. Nah, dari situ juga, terbentuk dalam benakku gambaran-gambaran tentang kemungkinan apa saja yang bakal terjadi kalau aku mengunjungi negara tersebut. Mungkin aku bersikap lebih hati-hati dan tidak gampang percaya dengan orang-orang dari negara X atau mungkin aku menjadi excited karena orang-orang negara X terlihat sangat ramah terhadap wisatawan.  

    Ada juga penelitian yang menyebutkan tentang perubahan perilaku anak muda setelah menonton film. Apa itu? Dicontohkannya tentang anak muda yang menonton film tentang orang yang lebih tua dari stage umur mereka. Setelah menonton itu, mereka menunjukkan stereotip yang sama kepada orang yang lebih tua di kehidupan nyata mereka dengan yang ada di dalam film tadi. Sebaliknya, ada sebuah penelitian yang membagi beberapa orang menjadi 4 kelompok untuk menentukan pengaruh bias kesan pertama. Empat kelompok tersebut adalah teks dengan isyarat bias kesan pertama, multimedia dengan isyarat bias kesan pertama, teks tanpa isyarat bias, dan multimedia tanpa isyarat bias. Isyarat bias kesan pertama tadi dirancang dengan memberikan informasi yang tidak lengkap serta tidak menguntungkan bagi kepala departemen, tetapi kemudian mereka diberi informasi yang dimaksudkan untuk mendukung kinerja kepala departemen. Tugas mereka (empat kelompok tadi) adalah melakukan penilaian kinerja lima tahunan pada kepala departemen. Secara keseluruhan, hasil menunjukkan skor penilaian kelompok multimedia (penyampaian informasi contohnya dengan video) dengan isyarat bias tidak berbeda dengan kelompok multimedia tanpa isyarat bias. Bearti di sini, isyarat bias kesan pertama tidak mempengaruhi penilaian seseorang terhadap orang lain.

    First impression bias itu ada di dalam keseharian kita dan banyak kemungkinan hal tersebut terjadi pada kita. Dari film-film yang kita tonton, kita mendapat banyak wajah baru yang sebelumnya mungkin ga familiar di kita atau yang sebelumnya sudah familiar, tetapi berbeda dengan yang ada di sekitar kita. Dengan melihat banyak film, kita jadi memiliki banyak gambaran yang akan mempengaruhi first impression kita pada orang yang baru kita ajak berkenalan. Juga, mungkin ketika melihat wajah yang “mirip sama aktor/aktris” di film blabla kita jadi nganggep orang itu berkepribadian sama kaya karakter dalam film tadi. ”Oh, orang ini kok kaya yang ada di film X, ya, ooo, mungkin dia juga kaya begitu kali.” “Wo, wajahnya mirip banget sama karakter di film X.” Namun juga, dengan hal tersebut kita dapat melihat seseorang dari banyak perspektif yang ada yang tentu dapat bermanfaat untuk menambah wawasan kita. “Em, biodata yang dia ceritain kaya gitu, ya, oh mungkin itu hanya kulitnya saja” “Duh, kok keliatan cuek banget perkenalannya, oh gapapa mungkin karena memang baru kenalan pertama kali, kan.” Begitu deh contohnya. Kesimpulan yang ingin aku tarik adalah tayangan atau film yang kita tonton dapat menyebabkan hal positif (terkait first impression) bagi mereka yang mencoba atau mampu berada di sudut pandang orang lain.  Terima kasih semuanya sudah membaca sampai akhir, ga kerasa udah hampir 2 minggu blog ini ga update.

References

Chieko Iwashita (2008) Roles of Films and Television Dramas in International Tourism: The Case of Japanese Tourists to the UK, Journal of Travel & Tourism Marketing, 24:2-3, 139 151, DOI: 10.1080/10548400802092635

Eliminate First Impression Bias And Hire Right Candidate https://www.linkedin.com/business/talent/blog/talent-strategy/eliminate-first-impression-bias-and-hire-right-candidate

Graeff, Kathryn, "Seeing you from your point of view: perspective-taking and first impression accuracy" (2019). Masters Theses and Doctoral Dissertations.
https://scholar.utc.edu/theses/582

Kai H. Lim, Izak Benbasat, Lawrence M. Ward The Role of Multimedia in Changing First Impression Bias. Information Systems Research 11 (2) 115-136 https://doi.org/10.1287/isre.11.2.115.11776

Kubrak T. Impact of Films: Changes in Young People’s Attitudes after Watching a Movie. Behavioral Sciences. 2020; 10(5):86. https://doi.org/10.3390/bs10050086

Mattarozzi K, Todorov A, Marzocchi M, Vicari A, Russo PM (2015) Effects of Gender and Personality on First Impression. PLOS ONE 10(9): e0135529. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0135529

The First Impression Bias https://thedecisionlab.com/reference-guide/psychology/the-first-impression-bias/

 

3nq-sns


Tonight We Dine In Hell 300 GIFfrom Tonight We Dine In Hell GIFs

Sharing about the movie I've watched on this blog for the first time would open this review. I'm not gonna telling you bout the director or kind of stuff like that, but really on the point that I thought badly want to share with you.

This movie was released in 2006 and yeah, the cinematic, while it was monotonous but it was fine! Overall the movie, you will see the same filter, if you expect a good cinematic, hopefully, you'll think that again. But really! It's not boring from the beginning to the ending! Yea sounds like I'm into it, but yes, I'm into it hahaha.

Quality seems so clear in this 300 movie, as the title, 300 Spartans fight over 170.000 Persian less more. At first, Leonidas The King did not get permission from the respected people of Sparta, I forget their name. Leonidas hesitated then, fight, not, fight, not. He told it to his wife, Gorgo (reminded me of Cersei hehe). Gorgo said, “What should freeman do?” woo in the heart. Leonidas immediately jolted his heart.

Next to the battle that I'm so excited about. Blood mm it's .. plain sight ... If you kind of people who don't like seeing a lot of blood or violent stuff, I warn you. My heart races I feel most in this movie, its slow effects, really make me like I'm feeling the battle and pain. There are so many Persian tactics, one way or another. There's a titan, witches, immortals, elephants, rhino, aaa lot of kind weapon they use to fight over 300, yea, 300 Spartans. The confidence of Leonidas reminds of someone's words that there's no luck, no sudden thing, then why? It's because you, you ready for it, for its glory. During the fight, there's one scene with the slow effect that I wanted most to give it a back sound, AAA .. AA .. AAA .. AA, if you know Ragnarok, yea the “AA” sounds like it.

Begin to the ending, there's one scene that hmm I “oh, pls no” way, yes, when Leonidas kneels down. Why I feel this way is because I don't see if Leonidas wants to attack the king of Xerxes directly. Then, wow, Leonidas' weapon got Xerxes!

Of course with its ending of Leonidas, I'm .. ok with it. The impact of this warrior spirit finally made the dream of Leonidas come true. I recommend you to see this movie when you are not in your full energy and want to recharge to feel better and moved to fight for your own battle.

Thanks for you all reading till its ending, Happy Holiday! If you are so.

endless-sns


Untuk Lily merahku,

Ayah Ibumu bukanlah mereka yang menjadikanmu ada, bukan pula mereka yang mengatakan kebenarannya. Kau pun tahu soal ini, dari siapa yang kau temui kala itu, tujuh tahun berlalu. Bertemu dengan tubuh fanamu yang hampa tanpa kehendak pribadi membuat pertemuan itu hanya sekedar temu tanpa kata. Berhari-hari tak kucoba pikirkan tentangmu, tapi nyatanya ini tertulis. Saat aku ingin mengisi waktu dengan tempat kumenetap pasti, kudapati diriku ada dalam hangatmu. Perlahan kuharap kehendak pribadimu mulai ada, Lily.

Kini mereka membawaku pergi ke tempat yang tak kau ketahui. Jauh darimu lantas membuat kenangan kecil itu mendominasi. Senyum dan canda tawamu dulu, membuat kami hidup, Lily. Hanya saja perang ini memisahkan kita dari Ayah Ibumu. Kutakuti ia juga akan memisahkanku darimu.

Di taman tempat kau dirawat, hanya mengerti kata yang kutulislah harapan kecilku padamu, andai-andai kau dapat tersenyum padaku saat telah sampai. Ketahuilah bahwa kau tak sendiri dan ada aku yang akan menghabiskan waktunya bersamamu. Bersama, Lily.

Saudarimu,

Gen

Penghabisan waktu itu memang mereka lakukan bersama dalam ketenangan. Surat yang sampai saat perempuan muda beraga, tetapi pikiran dan perasaannya terputus dinyatakan telah tiada.  Surat harapan seorang saudari yang telah gugur, tak pernah dibaca Lily si rambut merah.  

Newer Posts Older Posts Home

Categories

  • Health 1
  • HoW? 3
  • Landing 4
  • Lintas 8
  • Movie 7
  • Storiette 5
  • Thoughts 12
  • Women 3

Popular Posts

  • ABOUT
  • Segala Hal Baik di Dunia
  • Itu bukan Pencapaian yang Belum Tercapai, ko!

Archive

  • ►  2021 (18)
    • May 2021 (3)
    • Jun 2021 (2)
    • Jul 2021 (3)
    • Aug 2021 (2)
    • Sep 2021 (2)
    • Oct 2021 (2)
    • Nov 2021 (3)
    • Dec 2021 (1)
  • ►  2022 (15)
    • Jan 2022 (5)
    • Feb 2022 (5)
    • Mar 2022 (2)
    • May 2022 (1)
    • Jul 2022 (1)
    • Dec 2022 (1)
  • ▼  2024 (1)
    • Nov 2024 (1)
Powered by Blogger

Member of

1minggu1cerita

Copyright © Stood and Stand. Designed by OddThemes