Stood and Stand

by Citra Maharani

Stood and Stand
  • Home
  • Author
  • Portofolio


Lama ga nulis, muncul-muncul bahas pencapaian. Tahun ini, 2022, sangat amat (woo alay dikit) memberiku banyak insight baru. Di awal tahun, ada hal yang cukup ga pernah terbayang alias hal yang ga masuk dalam rencanaku. Yap, mencoba daftar kedinasan. Awalnya aku gabisa nerima hal ini dan selalu mencoba untuk menggiring pendapat dan pemikiran ortu bahwa ada jalan lain, ya tetep nerusin di jurusanku yang sekarang tanpa harus pindah. Then, ya kenapa ga dicoba aja? Orang tuaku memberi pendapat itu juga dengan alasan yang rasional dan bisa diterima (yee cit, nulis gini padahal waktu itu galau hehe). Jarak pengumuman pembukaan pendaftaran sama pendaftarannya waktu itu lumayan jauh dan ya aku udah kepikiran buat masuk kedinasan yang mana. Lalu, boom, gak menerima mahasiswi baru. Galau lagi. Dengan tinggi yang ga tinggi-tinggi banget dan mata yang juga ga normal, bingung lah tu milih mana.

Ternyata setelah banyak diprotes, kedinasan satu tadi (yang ga nerima perempuan) akhirnya merubah keputusannya, cuma ya .. syarat tinggi dan matanya makin diperketat and guess what aku ga memenuhi syaratnya woo. Waktu itu cukup pusing karena juga disambi dengan mikirin kuliah semester 2 yang masya Allah membuat mahasiswa-mahasiswanya tujuh keliling alias pusing. Ditambah dengan beberapa kegiatan non-akademik yang aku ikutin. Yah, aku mencoba menjalani semuanya dengan kalem agar tetap sane.

Agak lompat, aku bersyukur banget. Emang semua jadwal tes SKD (Seleksi Kompetensi Dasar) itu timelinenya bebarengan sama UAS atau Ujian Akhir Semester, tapi aku dapet yang hari Minggu and I’m so happy to know that. Beruntung waktu di semester 2 ada yang namanya minggu tenang. Beruntung ga beruntung aslinya karena di minggu tenang itu adalah waktu untuk aku ngejalanin proker (program kerja) yang udah dirancang bareng-bareng sama anak timku yang lain dan kebetulan aku ketuanya .. so yeah. Jadi, dari 7 hari di minggu tenang itu, sisaku untuk benar-benar tenang dan fokus belajar adalah mulai hari Kamis. Bukan mahasiswa namanya kalo gak sok keren, alias belajar materi satu semester dalam sekejap sebelum ujian. Di minggu tenang itu aku mulai belajar kedinasan dengan serius. SKD buatku cukup susah karena aku bukan orang pinter yang tanpa belajar langsung bisa paham dan dapet hasil memuaskan gitu aja. Bahkan udah belajar pun, hasil TO atau try out yang aku ikutin ga pernah lolos ambang batas. Sedih? banget, tapi ya yaudah gimana lagi, gagal ya gagal aja hehehe. Makanya aku mutusin buat lebih ke nitik beratin kedinasan daripada UAS walau sebisa mungkin fokus dua-duanya. Ngejar materi buat UAS, aku ngandelin catetan dan pendengaranku selama ngikutin kelas.

Waktu UTS (Ujian Tengah Semester) aku cukup sering buat belajar bareng temen. Namun, buat di UAS ini aku cenderung dan bahkan semuanya belajar sendiri di kos karena apa yang kupelajarin kurasa gabisa fokus kalo harus dipelajarin bareng-bareng. Ya sejujurnya sih aku gamau temen-temen yang lain tau kalo aku nyoba untuk kabur (re: daftar kedinasan). Apakah aku merasa mampu melewati semuanya? Yap mampu banget, mampu buat stressnya. Aku ga sehebat dan sebisa itu untuk unggul di dua bidang sekaligus. UAS yang kebanyakan materi eksak dan SKD yang penuh pilihan tricky.

Aku ga sempet nangis saat itu, mikirnya, halah nangis-nangisnya nanti aja, ini nih masalah di depan mata dikelarin dulu. UAS minggu pertama aku hadapin dengan persiapan yang dibilang cukup dan mata kuliahnya pun juga cukup bisa dikerjakan dengan tersenyum (tanda pasrah). Yang jadi problem banget adalah matkul minggu kedua utamanya Analisis Variabel Kompleks (AVK) yang amat kompleks. UAS matkul ini di hari Senin, langsung setelah tes SKD. Aku udah mutusin buat pasrah di AVK dan bener-bener 2 hari (Jum’at dan Sabtu) buat belajar SKD.

Dipikir-pikir lagi, kekuatan doa itu emang nyata adanya. Otak yang udah kelelahan overthinking soal hasil SKD dan orang tua sama keluarga di rumah yang juga ikut deg-degan, ternyata masih kuat buat belajar AVK ngebut pake sistem SKS (Sistem Kebut Semalam). Sewajarnya habis tes, ortu pasti nanyain kabar gimana tadi, terus reaksi ke skor yang ditampilin secara live di Youtube dan lain sebagainya, tetapi aku memutuskan buat menjauhi social media waktu itu. Introvert satu ini perlu ­recharge energi dulu sebelum perang lagi (ahahaha) yak aku tidur bentar. Bisa dibilang belajar ga belajar habis itu karena belajar itu kan baca materi, review, latihan soal, diskusi sama temen kalo bisa, and repeat. Nah, yang aku lakuin malem itu adalah baca catetan dan bolak-balik bukunya aja, tanpa nulis atau coret-coret. FYI, biasanya di beberapa matkul tertentu itu ada ­cheat sheet atau lampiran sebanyak 1 lembar yang bisa kita isi apapun dan boleh dibawa waktu ujian. Matkul AVK ini gaada eh gaboleh pake cheat sheet. So, yaudah gaada coret-coret yang terlahir.

Besoknya waktu ujian, kaget aja, ternyata aku bisa ngerjain soalnya. Seneng tentu. Basically kesenanganku di UAS atau ujian apapun itu seringkali bukan karena aku merasa jawabanku bener, tapi karna aku bisa jawab, ya at least kertasnya ga kosongan and it happens di AVK, terharu dikit tiba-tiba di otak semuanya nyambung aja.

UAS dan SKD terlewati, tentu hasil pasti keduanya sama-sama belum muncul. Gatau kenapa, entah kepedean, di otakku hanya ada pikiran bahwa semester 3 aku udah ga di UGM lagi, dan udah kuliah di kedinasan tadi. Jadi, ya gaada rencana atau keinginan apa-apa, ga terbayang, buat ngapain aja kalo di semester 3. Emang agak-agak.

Long story short, aku ga lolos perangkingan nasional. Oh iya ada alasan dibalik kepedeanku itu. Aku dapet nilai tertinggi di sesiku untuk prodi yang aku pilih.

[delay bentar, yang nulis agak mellow]

Like I said before, aku ga punya bayangan bakal lanjut semester 3 di UGM. Seperti angin di kala mendung hadir, ada acara mentoring karir yang buka dan tanpa berpikir Panjang aku daftar aja. Boom dari situ aku banyak kena pukulan apalagi se timnya maba semua, tapi mereka udah tau mau ngapain aja. Udah lah tu, aku mencoba tetap sane dengan coba nulis-nulis lagi.

Seorang aku yang awalnya gatau mau ngapain, mau kemana, mau apa, sekarang akhir jadi lebih semangat buat apa-apa. Tentu, sampai sekarang pun aku masih struggle dalam menentukan kedepannya mau gimana dan hal apa yang perlu dilakuin buat kesana, tetapi aku enjoy. Kuliah offline ketemu orang banyak, ikut kegiatan-kegiatan yang lingkungannya macem-macem, bahkan lebih tau dan kenal sama diri sendiri.

Aku gabakal jadi aku di akhir Desember 2022 ini kalo misalkan aku gajadi lanjut semester 3 di UGM. Mungkin juga aku bakal jadi aku yang lain di Desember 2022 kalo aku keterima di kedinasan tadi. Apa hal-hal yang aku ingin capai di 2022 ini tercapai semua?

Well, buatku sekarang, pencapaian itu ga hanya bisa diliat sebagai ‘telah mencapai sesuatu’. Udah ini udah itu, habis ini, menang itu, ikut ini, dan sebagainya. Setelah apa yang aku lewatin di tahun ini, buatku pencapaian itu adalah titik di mana kita sebagai individu akhirnya bisa menerima dengan nyaman. Menerima jalan yang akhirnya membawa kita di titik tertentu dengan ikhlas. Bahwa, kita melewati, bisa melewati suatu tahapan, suatu jalan kehidupan, itu juga pencapaian. Melihat aku yang sekarang ini masih bisa nulis curhatan 1000 kata, masih bisa scrolling Twitter, masih bisa melihat ortu walau mungkin belum memenuhi ekspektasi nya, masih bisa ngelus kucing kesayangan, masih bisa ngobrol sama temen-temen, dan masih bisa bertahan terus semangatnya sampai di penghujung tahun, buatku udah pencapaian besar, banget.

Yap, di tahun ini, kalo emang pencapaian dilihat sebagai ‘telah mencapai sesuatu’, oke, aku juga udah memiliki pencapaian, yaitu telah mencapai titik di mana aku bisa enjoy and even when I no longer knew why, I walked forward always trying to not lose my head. Aku juga menyadari hal yang penting banget di tahun ini. Orang tua dan keluarga.  Kadang, di titik terendah di saat kita gatau mau apa dan gaada motivasi buat ngapa-ngapain atau justru kehilangan semua motivasi itu, individu lupa bahwa mereka masih punya support system yang selalu ada di sekitar mereka. Dalam case aku adalah keluarga, utamanya orang tua. Oke, ekspektasi orang emang kadang bikin kita bingung, bahkan kalimat yang jelas baik kaya “Semoga dapet nilai A” “Semoga lolos” bingung juga mau ditanggepin gimana, mau Aamiin tapi kok ekspektasinya ketinggian, mau ga Aamiin kok nolak doa baik. Di balik semua itu, doa-doa dan kehadiran mereka aja udah jadi semangat buat tetep berani melangkah.

I’ve done well and we've all done well this year.

Semoga kita adalah jawaban dari doa-doa baik kedua orang tua kita.

Berdiri di sini, di daerah ini, kulihat Gamal berada di setiap batas tepi. Tak kuketahui pasti siapa yang menanamnya di sana, tetapi ia telah ada semenjak pertama kali kumenyadari keberadaanku di bumi ini. Mereka bilang adanya Gamal membuat segala yang kujalani menjadi aman terkendali. “Aman terkendali, apakah makhluk di luar sana sebegitu ganasnya?”, pertanyaanku pada mereka. Jawaban yang dilontarkan kurasa tak menjawab pertanyaanku, “Memang kamu seharusnya di sini, bukan di luar sana.” Apakah Tuhan memberiku identitas tentang ‘seharusnya di sini’? Aneh.

Keinginanku untuk mencari tahu membawaku mencari celah di antara para Gamal itu. “Tak ada yang beda”, kataku dalam hati. Pun, aku tak menemukan sesuatu yang membuatku merasa ‘seharusnya di sana’. Berselang 10 menit, kurasa aku harus menarik perkataanku tadi, perang ada dimana-mana. Sungguh, tapi  apakah perang seperti ini hanya terjadi pada kaumku? Jantungku terasa sedang berlari di tempat, perkataan dan perbuatan itu, “Terbungkus sekali, harusnya dirimu kubungkus dengan hal lain, Mbak.”, tak tahu aku harus bagaimana. Kucoba untuk mengalihkan pandangan, justru kedua mata ini melihat perang lain. Di sini tak ada Gamal yang memberi batas tepi, tetapi kenapa semua seolah tak ada yang memberi kebebasan pasti?

Berlari, terus berlari ke dalam kawasan Gamal tempatku berasal. Semua melebarkan sudut matanya, amarah keluar dari masing-masing mereka. “Kau sudah kuberi tahu, tak seharusnya kau di sana.” Kenapa tak ada rasa khawatir yang diberikan padaku, kenapa justru omelan itu? “Apakah tak ada kebebasan untukku melakukan hal yang kumau?”, tanyaku. Mereka menjawab bahwa aku bebas melakukan apa yang kumau asal tak keluar dari batas Gamal itu, bahwa inilah ruang amanku. Aneh, sungguh mengekang.

Bukankah manusia harusnya memperlakukan manusia lain seperti ‘selayaknya manusia’? Bukankah tanpa Gamal pun, harusnya seluruh bumi tempat kaki dipijakkan ini adalah ruang aman bagi manusia, bagi kaumku, bagi perempuan? Konsep aneh, mengapa ruang aman harus membatasi dan mengekang. Harusnya ‘Gamal’ itu berada pada pilihanku, bukan standar yang mereka tetapkan sebagai ‘seharusnya’. Harusnya kesadaran memperlakukan ‘selayaknya manusia’ kokoh menetap pada diri semua manusia. Namun, apakah seharusnya aku mengganti nama menjadi ‘Gamala’? Agar batasan ruang aman tempatku melakukan hal yang kumau adalah pilihanku sendiri?


Tulisan ini juga termuat dalam virtual exhibition Aksara Bersuara Girl Up Universitas Gadjah Mada: Menciptakan Ruang Aman bagi Korban Kekerasan Seksual melalui Aksara

 


    Dulu, waktu kelas 12 SMA dengan pikiran yang banyak diisi oleh "mau lanjut kemana?", aku udah punya gambaran soal mau dibawa kemana kelanjutan tahap di hidupku ini, seperti yang aku ceritain dalam PASSION. Aku begitu pengennya ngelanjutin pendidikan yang jauh dari kota tempat asalku karena ingin benar-benar merasakan sesuatu yang baru dan berbeda, ya walau masih di pulau jawa. Dengan hal ini, aku begitu menghindari memilih universitas yang berasal dari Jawa Tengah dan Yogyakarta. Sampai akhirnya pilihan yang membuatku merasa so excited adalah Jawa Barat. 

    Alasannya, pertama karna Jawa Tengah dan Yogyakarta itu masih itungan deket dan kurang lebih sama soal bahasa, budaya, dan ciri khas masakan. Kedua, dari data yang ada soal alumni dan temen-temen yang lain mau lanjut kemana, kebanyakan ya di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dengan aku yang ingin merasakan temen-temen baru, aku merasa Jawa Tengah dan Yogyakarta terlalu padat soal lingkup pertemanan dari temen-temen yang udah aku kenal dari SD, SMP, dan SMA. Nah, di sini ternyata aku ngga sendiri karena ada salah satu temenku yang ngerasain dan menginginkan hal sama. Dia temen sekelasku dan waktu keinget soal Study Tour  ke Candi Prambanan di kelas 10 (almost 4 years ago ~), tambah banyak deh percakapan soal gamau kuliah di Yogyakarta (ini karna waktu itu pas mau ke Malioboro gagal gegara gadapet parkiran, tapi sebenernya ngga nyambung-nyambung amat sih, ya disambungin aja lah). 


Photo by Me

    Nah, di kelas 12-nya karna udah ketauan pada mau lanjut kemana secara spesifik temen-temenku ini, kebanyakan di UNS (Universitas Sebelas Maret) dan UGM (Universitas Gadjah Mada). Langsung nih aku kaya, "oke, fix Jawa Barat pilihan terbaik." Sampai obrolan di mana kita menyatakan ngga milih UGM pun muncul, cuma obrolannya udah kehapus di hp lamaku. 


Hai, UGM!

    Long story short, kini kita berdua kuliahnya di UGM huehe @.@, foto di atas diambil waktu aku ke sana liat kampusnya setelah diterima jadi salah satu mahasiswa baru. Yang sebelumnya gamau milih kuliah di sini, di Jawa Tengah atau Yogyakarta karna pengen ke Jawa Barat, berakhir di gamau yang spesifik, yaitu Universitas Gadjah Mada. Lalu untukku sendiri, apakah aku pernah kepikiran untuk berkuliah di sini? Nope. 

Namun, kalau dipikir-pikir lagi, sebenernya pikiran untuk aku kuliah di sini muncul setelah aku mendaftarkan diri di SNMPTN, ya, waktu milih pilihan 1 dan 2. FYI, pilihan satuku adalah UGM dan pilihan keduaku adalah UNS, wehe wehe. Saat itu yang aku pikirin adalah merjuangin UGM sampai aku nyiapin UTBK dengan matang juga, karna yang paling jauh dari kedua pilihan itu ya UGM. 


Sore di Jogja tahun 2018


    Berkaitan dengan ceritaku ini, cerita-cerita lain dalam hidupku pun kadang mengalami hal yang sama. Sesuatu yang justru aku hindari, malah semakin deket dan akhirnya menjadi bagian dalam hidupku. Then, why do we attract what we want to avoid? Dari apa yang aku sadari sejauh ini adalah aku terlalu mencoba untuk menyingkirkan hal yang aku ingin hindari and too focus on that, the unwanted thing. Energi yang aku habiskan ya ga jauh-jauh dari pikiran, "jangan di sini jangan di sini". Sampai akhirnya, apa yang jadi bakal kelanjutan tahap pendidikanku adalah di antara kedua itu yang akhirnya makes me unclear about my desires.  

    Apakah aku kecewa? Engga, aku gak merasa kecewa sama sekali, I always try to be grateful for what I received, yesterday, today, or in the future. Yang aku rasakan adalah kebahagiaan yang datang ketika aku diterima menjadi mahasiswa baru hanya berasa satu hari, di hari pengumuman itu, hari-hari selanjutnya aku secara ngga sadar memendam perasaan khawatir dan mengenggam erat rasa syukur kepada Allah. Mamaku bilang, bahwa inilah yang Allah siapkan buatku karna sebenernya aku siap akan keterimanya diriku di UGM dan berkuliah di Yogyakarta.  Maktoob, it is written, kata dalam The Alchemist yang membuatku keinget akan hal ini dan mencoba menuliskan cerita ini di sini. 

    Semakin aku yakin menjalani apa yang menjadi tahap kehidupanku dan memilih untuk melakukan semuanya dengan sebaik-baiknya, semakin aku memahami makna jalan yang diberikan Allah kepadaku ini dan semakin bersyukur diriku atas hal-hal yang telah terjadi dan terlalui.  As humans, we see the world we live in based on what we know about ourselves, and since everyone has their unique lens of viewing the world, I chose to change my perspective. I have to love myself, my life, and what I am doing in this stage of life. What's important is knowing the direction I want to go in life and using everyone I meet or enter my life to learn, grow, and improve.

So, current me, do you really think that 'UGM' is the thing you want to avoid back then?

 


Pertama-tama, pernahkan kalian ngeliat meme-meme di bawah ini?

Photo by Lina on Tumblr

Photo on AhSeeIt

Atau meme-meme sejenisnya? Pernah juga kah kalian terkadang merasa relate dengan hal-hal "other girls vs me" yang akhirnya ngebawa pikiran buat mikir, "eh iya ya, gua ternyata gak kaya cewek kebanyakan."? 

Atau malah, dari kalian justru menghadapi kejadian-kejadian kaya di bawah ini?

💭 Selamat datang di masa dimana bisa baca maps = pick me girl pic.twitter.com/rWXwfQL3m9

— 💙 (@convomf) March 8, 2022

Masyarakat kita sekarang sepertinya seringkali memaknai suatu istilah secara gak tepat dan hasilnya jadi berdampak negatif terhadap orang lain. Well, yang pengen aku bahas di sini adalah soal "Pick Me Girl". Buat awalan, sebenernya apa sih definisi Pick Me Girl itu?

Seseorang yang "Pick Me" sendiri adalah mereka yang dengan sengaja menunjukkan perilaku-perilaku untuk menyenangkan orang di lain sisi dengan memperlihatkan bahwa mereka berbeda dari kebanyakan orang dari jenisnya sendiri dan entah sadar atau tidak mereka juga merendahkan orang yang tidak sesuai dengan tipe ideal mereka tadi. 

Kalau "Pick Me Girl" sendiri menurut Urban Dictionary adalah seorang perempuan, bukan hanya girl tetapi juga woman, yang berusaha keras untuk mengesankan orang di lain sisi, ya laki-laki, dan membuat mereka tidak tampak seperti perempuan kebanyakan, not like the other girls, yang terkadang juga sering disebut dengan internalized misogyny. 

Secara psikologis sendiri nih, mereka yang "Pick Me Girl" biasanya akan lebih membatasi dirinya sendiri saat membangun kepribadiannya dan terkadang tidak bisa memakai, menggenakan, atau melakukan sesuatu yang benar-benar mereka inginkan karena takut akan ditolak laki-laki dengan ucapan, "Ah, kaya cewek kebanyakan." Sehingga, standar hidup mereka ya akan dibatasi dan berpusat pada laki-laki, yap secara sadar atau enggak mereka menderita di bawah patriarki. Hal ini jugalah yang menuntun "Pick Me Girl" untuk memandang rendah sesama perempuan yang memperlihatkan perilaku seperti perempuan kebanyakan dan berbeda dari standar mereka. 

Nah, yang pengen aku bahas di sini sebenernya bukan definisi atau penjelasan "Pick Me Girl" itu secara dalam, tetapi bagaimana pengaruhnya terhadap kebebasan berekspresi seorang perempuan soal identitasnya. Balik lagi ke atas nih, soal twit yang "baca maps = pick me girl", miris banget gak sih ngeliatnya? 

Dengan viral atau maraknya istilah "Pick Me Girl" di sosial media, makin marak juga nih pemikiran-pemikiran yang melenceng dan merugikan. Maksudku adalah, misalnya hanya dengan adanya narasi bahwa "perempuan tuh gabisa baca maps", maka perempuan yang bisa baca maps dianggap "Pick Me Girl". Atau narasi yang bilang bahwa "perempuan itu makannya pelan dan dikit", lalu perempuan-perempuan lain yang emang dari sananya makan banyak dianggap "Pick Me Girl". Atau justru sebaliknya, perempuan yang dari dulu makannya emang banyak atau bisa hal-hal yang 'dianggap lakik' merasa gak yakin dan ragu akan hal-hal yang dilakukannya tadi, karena ya takut dianggap sebagai seorang "Pick Me Girl", lalu mulai mempertanyakan hal yang seharusnya gak dipertanyakan, misal, "Duh nambah porsi gak ya nih piring, laper banget tapi ntar .. ".

Terus nih, di satu sisi, ada seorang "Pick Me Girl" yang menganggap dirinya superior dan merendahkan perempuan lain karena dia gak seperti perempuan kebanyakan, di sisi lain perempuan yang "seperti perempuan kebanyakan" menganggap "Pick Me Girl" ini banyak settingan. Yap, perempuan yang harusnya saling support satu sama lain justru malah terpecah belah akibat narasi-narasi rancu di luar sana dan lupa sama "musuh yang sebenarnya". 

Juga, ada saat di mana kita sebagai perempuan nantinya akan ragu-ragu dalam mengekspresikan diri kita dan malah memilih standar yang terikat dengan patriarki. Akhirnya apa, sebagai perempuan kita makin gak bebas dalam bertindak, makin tidak tahu dan tidak mengerti tentang diri sendiri. 

Oleh karena itu yang terbaik yang bisa kita lakukan dan seharusnya lakukan adalah berani dan bangga menjadi diri sendiri, "This is me and I'm proud of me", selama kita gak merendahkan orang lain atau perempuan lain jika mereka berbeda dari standar ideal yang kita punya, gak ada salahnya bangga dan berani kepada diri sendiri. 

Kita bisa memilih untuk ignorant terhadap apa yang orang bilang kepada kita, misalnya "Ah, kaya cewe kebanyakan" atau "Ah, sok sok jadi Pick Me Girl, biar disukain laki-laki kan". Atau, juga bisa memilih untuk speak up dan saling mengedukasi bila kejadian-kejadian tidak mengenakkan seperti ini terjadi kepada diri kita sendiri atau perempuan lainnya di timeline sosial media atau kehidupan nyata kita secara langsung. 

Girl, You have your choices, You have your own identity.

It's okay to be a girl that likes 'basic' things and otherwise. 

As long as, that doesn't make you see down to the others. 


Photo by Imgflip

Beberapa video yang dapat ditonton:



Saat sedang akan membangun sebuah rumah atau ingin mengubah tatanan rumah yang dimiliki, seringkah muncul di benak kalian semua soal "membuat halaman rumput"? Memiliki halaman rumput yang indah dan cantik di depan rumah memang membuat nyaman mata memandang, tetapi pernahkan kalian terpikir nih soal sejarah di belakang pemikiran "halaman rumput" di depan rumah itu indah? 

Kalau kita menoleh ke belakang, ide membuat halaman rumput atau menumbuhkan rumput di depan hunian atau rumah pribadi ini lahir dari kastel-kastel kaum aristokrat (bangsawan) Perancis dan Inggris pada akhir Abad Pertengahan. Contoh gampangnya bisa dilihat misalnya saat kita menonton period film, seperti Emma, Little Women, Pride and Prejudice, Atonement, Sense and Sensibility, Bridgerton, dan lainnya, kita sering melihat halaman rumput yang terpampang luas di depan hunian para bangsawannya. 

Untuk memiliki sebuah atau beberapa halaman rumput yang terawat, tentu dibutuhkan lahan dan perawatan yang memerlukan banyak pekerja. Tentu aja, apalagi di saat-saat sebelum adanya penemuan soal mesin pemotong rumput dan alat siram otomatis. 

Nah, kalau dipikir-pikir lagi, apa ya manfaat dari halaman rumput ini? Bantuan kebahagiaan bagi para pemilik dengan melihat keindahannya? Untuk main sepak bola atau latihan upacara? Makan hewan ternak? atau mungkin ada yang berpikir untuk penghijauan?

Lahan rumput sebenernya gak menghasilkan sesuatu yang bernilai, ya contohnya gak mungkin halaman rumput yang dirawat dengan mengeluarkan biaya besar dijadiin tempat untuk hewan ternak yang justru akan merusaknya dan ya lahan yang luas hanya untuk halaman rumput, kalau rakyat biasa atau para petani pada waktu itu berpikir bahwa sebaiknya lahan yang berharga bisa ditanami sesuatu yang berharga pula. 

Halaman rumput yang cantik pada saat itu seolah nyebarin berita tegas nih, "Tuh gue kaya dan kuat kan, punya banyak tanah, punya banyak pekerja yang ngerawat halamannya HOHOHO," ya gitu deh ibaratnya. Tentu aja ini berlaku sebaliknya, kalau ada seorang bangsawan yang halaman rumputnya udah gak lagi terawat dan cantik, semua orang bakal tahu kalau dia sedang menghadapi kesulitan. 

Sampai saat ini pun, banyak istana, gedung-gedung pemerintah, dan tempat-tempat publik lainnya yang memiliki halaman rumput luas dan terkadang diberi tulisan "Menjauh dari Rumput" atau "Jangan Menginjak Rumput". Kalau kalian pernah nonton film The Man Who Knew Infinity yang latarnya di Trinity College Cambridge, bagi para mahasiswa biasa yang gak bergelar, mereka gak boleh motong jalan dengan melewati rumput dan harus lewat pinggirnya, lho. Ya, halaman rumput udah kaya simbol otoritas. 


Photo by Alamy on Google

Di dunia olahraga, halaman rumput juga ikut-ikutan nih. Dari ribuan tahun, manusia ya bermain olahraga di atas jenis tanah di tempat mereka tinggal, entah itu es atau gurun. Sampai pada dua abad terakhir ini, olahraga penting, seperti sepak bola dan tenis, dimainkan di halaman rumput. Di kampung mungkin kita juga sering melihat anak-anak bermain sepak bola di tanah yang gundul-gundul aja atau kalau kampungnya lebih maju, biasanya lapangan mereka ditumbuhi rumput-rumput. 

Ada juga nih, Museum Seni Islam yang dibangun di Qatar diapit halaman rumput mewah di tengah gurun Arabia yang tentunya membutuhkan perawatan ekstra untuk membuat rumputnya tetap terlihat segar dan hijau. 


Photo by Satellite on Google Maps 

Nah, dari sinilah, halaman rumput itu mulai digambarkan manusia sebagai gambaran status sosial, politik, dan kekayaan. Bahkan ketika revolusi industri meluaskan kaum menengah dan udah maraknya mesin pemotong rumput sama penyiram otomatis, mulai banyak orang yang bisa memiliki halaman rumputnya sendiri di depan hunian mereka. Halaman rumput yang cantik udah bukan lagi sebuah kemewahan orang kaya dan menjadi kebutuhan kelas menengah. 

Setelah menilik halaman rumput secara singkat, apa masih terbayang di benak kalian semua untuk memiliki hamparan rumput yang cantik dan luas di depan rumah? Tentu aja, tulisan kali ini bukan untuk membatasi keinginan-keinginan pembacanya dan semua orang bebas untuk melakukannya, memiliki halaman rumput. 

Namun, kita semua juga dibebaskan untuk melepas budaya yang diwariskan oleh orang-orang dulu dan membayangkan kreasi atau impian alternatif lainnya untuk hunian pribadi kita, misal kebun buah atau sayur pot yang lebih bermanfaat. Ya, dengan belajar sejarah halaman rumput, kita bisa memiliki sedikit kebebasan untuk memilih bagaimana kita menghias rumah, kan? 


Sumber bacaan : Homodeus - Yuval Noah Harari

Ignorance, what I will talk about in this writing it's not about the ignorance of lacking knowledge or being stupid, dummy, or foolish (I'm sorry). Sometimes, when we heard about "ignorance" we tend to think in a way like that. But, ignorance is far more neutral that we don't realize that it can be a "gift". Now think about the gift that ignorance can sometimes be. 

When a person is in the state of being unaware of some information or facts, they don't know about that information, right? So, where is the goodness from it? When we are unaware of some information or facts, then how do we get knowledge and information?

I feel, maybe some of you too, most of our learning comes from doing something wrong then we can get kind of learning from that mistakes. Doing things wrong leads us to do things right and ignorance can even help us to start things, it's like fuel. So, when we are ignorant about things, it allows us to begin an endeavor, and then it is sheer will and momentum that get us the rest of the way that we want. 

Talking in the way of science, Firestein, chairman of the Biology Department at Columbia University, in his book "Ignorance", points out that he doesn't mean ignorance in the sense of "stupidity", but he means ignorance is not an individual lack of information but a communal gap in knowledge. He added that it is a case where data exist or more commonly where the existing data don't make sense and can't be used to predict something or an event. A bit complex from just unaware, right?

Well then, how about the goodness of "literally" ignorant about other people or social media or maybe ourselves look? For me, it will help me to understand myself more and make me don't overcomplicate.  

Then, related to that, about how I look, I mean like what clothes did I wear or how I get ready with my hijab, when I am ignorant about that, it makes me have people that accepted me for who I am. I mean, yeah I'm not like being fully ignorant and using clothes that don't know the situation but what I mean is I'm not too complicated doing mixed matches or feeling like "What if they don't like how I look?" and then being disappointed if what I look don't match of what they're expecting. 


Photo by Tatiana on Canva

And for social media, of course, I will have a lot of free time than just scrolling and comparing how I and them (people at the social media) so I can get a lot of things to do and not overthinking about something that doesn't important. 

Being ignorant, unaware of information, are not always negative. Sometimes what we don't know helps us rather than hurts us, that's how ignorance works. 


Kita mengekspresikan perasaan yang kita alami dengan sebuah tanda, misalnya aja saat kita lagi seneng kita bakal senyum, ketawa, atau bahkan sampai melompat-lompat. Atau saat kita sedih kita bakal diem, mojok di kamar, atau mungkin nangis. Atau lagi kalo pas marah bakal merah tuh muka, sensi-an, senggol bacok, ya gitu .. lah. 

Tapi ya untuk diri kita sendiri "mungkin" maksud perasaan mana yang terjadi dari tanda-tanda ini bisa kita pahami, namun, misal kalau bayi yang suka senyum, orang asing yang tiba-tiba ketawa di depan kamu, atau anak kecil yang tiba-tiba gerakin geraham bawah waktu liat kamu, atau contoh aja, ungkapan " I love you", ya kita tahu kalo ini artinya aku cinta kamu, tapi maksud di balik "I love you" ini apa, belum tentu kita tahu kan. Well, apa kita bisa menganggap tanda-tanda atau ungkapan tadi sebagai perasaan yang gitu aja? Of course not, right?  

Lalu, sebenarnya bisakah kita memahami orang lain? Atau bahkan, bisakah kita memahami diri kita sendiri? Ketika hendak memahami orang lain yang kita ketemu langsung, mungkin kita bakal lihat gerak gerik mata dia, istilahnya ngintip pancaran apa yang dipancarin matanya (hadeh bahasaku haha), tapi kita gabisa kan ngintip apa yang ada di dalam pikirannya. Bahkan buat kita sendiri untuk ngintip perasaan yang notabene-nya ada di dalam diri kita terkadang sulit dan ga sadar-sadar, sampai orang lain yang justru ngatain hal itu, "Eh kamu tuh lagi cemburu gasih?", ya kaya gitu contohnya. 

Memahami orang lain jelas ga kaya memahami persamaan phytagoras yang kita bisa praktekin langsung ke soalnya kalo kita ga paham rumusnya. Yang jelas, orang atau manusia terkadang ga seperti buku atau tulisan yang dengan kita ngelihat aja kita bisa memahaminya (hm .. kalau bukunya buku Linear Algebra, mau dibaca doang atau dibaca beneran sih kayaknya tetep ga paham-paham). 

Yap, kalo kita mengklaim bahwa kita memahami orang lain dengan hanya ngeliat dia, jelas itu salah. Orang atau manusia bisa berubah-ubah seiring waktu dan pengalaman hidupnya, yang jelas lebih kompleks dari sebuah buku yang diperbarui edisinya. Dengan ini juga, ga sadar terkadang kita bisa kaget dan terkejut dengan perubahan yang orang itu alami bahkan saat kita udah kenal dia dari lama, contoh temen, pasangan, orang tua, atau anak dan kadang-kadang juga justru kita sendiri yang mengejutkan diri kita sendiri. Banyak juga lhoh orang yang menjalani hidup tanpa pernah tau mereka itu siapa atau apa.

Then, can we understand each other better?

Kita mungkin gak bisa lebih saling memahami, tapi kita bisa kok saling menghargai dengan lebih baik. 

Newer Posts Older Posts Home

Categories

  • Health 1
  • HoW? 3
  • Landing 4
  • Lintas 8
  • Movie 7
  • Storiette 5
  • Thoughts 12
  • Women 3

Popular Posts

  • ABOUT
  • Segala Hal Baik di Dunia
  • Itu bukan Pencapaian yang Belum Tercapai, ko!

Archive

  • ►  2021 (18)
    • May 2021 (3)
    • Jun 2021 (2)
    • Jul 2021 (3)
    • Aug 2021 (2)
    • Sep 2021 (2)
    • Oct 2021 (2)
    • Nov 2021 (3)
    • Dec 2021 (1)
  • ►  2022 (15)
    • Jan 2022 (5)
    • Feb 2022 (5)
    • Mar 2022 (2)
    • May 2022 (1)
    • Jul 2022 (1)
    • Dec 2022 (1)
  • ▼  2024 (1)
    • Nov 2024 (1)
Powered by Blogger

Member of

1minggu1cerita

Copyright © Stood and Stand. Designed by OddThemes